Perayaan Maulud Membawa Kaum Muslimin Memenangkan Perang Salib

SHALAHUDDIN AL-AYYUBI
Lelaki itu memandang ufuk senja di Aleppo, 1183 M. Kilau redup pedang panglima perang ini seakan mengabarkan padanya bahwa kaum Muslimin tengah mengalami kelesuan setelah hampir seabad berperang tanpa tahu kapan akan berakhir. Yerusalem masih dal…am kekuasaan pasukan Salib. Ia mendengar cerita dari para leluhurnya bahwa, semasa Perang Salib I, dalam waktu 2 hari 2 malam, 40.000 kaum Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak, di Yerusalem tewas dibantai oleh pasukan Salib dengan bantuan para Ksatria Templar. Kini perang telah memasuki fase ke III. Namun pasukan Muslimin sedang letih. Apa yang mesti dilakukannya sebagai panglima perang tertinggi untuk membangkitkan semangat juang kaum Muslim yang sudah menguasai Mesir, Turki, Syiria dan kawasan Mesopotamia? Kekhalifahan telah berhasil ia satukan; ia merasa kini saatnya merebut kembali Yerusalem, salah satu tanah suci kaum Muslimin, yg sedang berada cengkeraman pasukan Salib. Ia tertunduk, merenungkan kembali kisah peperangan yang dilakukan junjungan kaum Muslimin, Muhammad Rasulullaah SAW, mengingat kembali perang-perang dahsyat pada zaman beliau: Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk…. dan ia ingat pada kecintaan para sahabat yang tanpa memikirkan diri dan keluarganya, maju ke medan laga mendampingi nabi demi membela Dinul Islam yang diancam eksistensinya oleh kaum kafir Quraisy. Tafakurnya membuatnya sadar: ya, Kecintaan pada Rasulullah itulah yang menyebabkan para sahabat rela mengorbankan segalanya. Cinta mereka kepada Rasulullah telah mengakar begitu dalam hingga ke bagian terdalam dari jiwa dan ruh mereka. Salahuddin al-Ayyubi, kini menegakkan kepala, telah mengambil keputusan penting yang akan memengaruhi sejarah peradaban Islam hingga saat ini … Atas persetujuan Khalifah an-Nashir, maka pada bulan Haji 579 H (1183), Shalahudiin, sebagai penguasa Haramayn, mengeluarkan perintah kepada seluruh jamaah haji, agar saat mereka pulang ke kampung halaman, mereka harus mensosialisasikan instruksi agar mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang dan kecintaan umat Islam kepada Rasulullah SAW. Salah satu agenda yg dilakukan adalah mengundang seluruh ulama dan sastrawan untuk festival menyusun syair dan pujian kepada Rasulullaah — dan salah satu pemenangnya adalah Syair karya Ja’far al-Barzanji yg tersohor itu. Hampir setahun lamanya kaum muslimin mendengarkan syair-syair indah yang mengisahkan perjalaanan hidup Rasulullah: mulai dari kelahirannya, akhlaknya, perjuangannya, mukjizat2nya dan lain sebagainya. Karena syair-syair itu disusun dari orang-orang yang hatinya dipenuhi oleh Cinta kepada Rasulullaah, efeknya sungguh luar biasa: barokah Rasulullah seolah-olah mengalir melalui syair-syair semacam Barzanji itu. Para pemuda Muslim sadar kembali betapa junjungan mereka adalah pahlawan sejati yang tangguh di segala bidang kehidupan, tangguh dan cakap mulai dari soal urusan rumah tangga, dakwah, akhlak, hingga ke medan perang. maka, ribuan pemuda Muslimin mendaftar menjadi tentara Shalahuddin al-Ayyubi. Sejak itu wilayah kekuasaan Shalahuddin semakin luas. Pada 1187, setelah dirasa cukup kuat, Shalahuddin memimpin langsung pasukannya untuk membebaskan Palestina. Benteng Yerusalem dikepung oleh puluhan ribu tentara dengan persenjataan yang canggih untuk ukuran zamannya. Sementara itu, penguasa Nasrani di Yerusalem tengah terlibat friksi dan intrik internal yang melemahkan posisi mereka. perang dahsyat terjadi. Pasukan Salib terdesak. Kaum Nasrani di Yerusalem dilanda ketakutan hebat, takut kalau-kalau Shalahuddin membalaskan dendam atas pembantaian 40.000 kaum Muslimin pada masa penaklukan Yerusalem oleh pasukan Salib pada Perang Salib I. Maka Panglima Yerusalem keluar menemui Shalahudiin untuk merundingkan gencatan senjata. Shalahuddin menawarkan agar kaum Nasrani menyerah dan keluar dari Yerusalem, dan mereka semuanya tanpa kecuali akan dijamin keselamatannya oleh Shalahudiin. Panglima Salib kaget, dan ia pun bertanya: “Mengapa” “Karena aku adalah Shalahudiin,” jawab Sang Panglima Muslim sambil tersenyum… sebuah jawaban yang penuh makna bagi mereka yang punya mata hati…. Demikianlah, seluruh kaum Nasrani dan Yahudi keluar dari Yerusalem dengan aman, dan Shalahudiin masuk ke Yerusalem. Ia membersihkan kota, memperbaiki bangunan-bangunan dan masjid-masjid. Salahuddin sama sekali tidak meluluhlantakkan bangunan ibadah nasrani dan Yahudi, bahkan ia memerintahkan bangunan ibadah mereka itu ikut diperbaiki. Konon, saat masuk ke sebuah gereja besar, ia melihat salib jatuh tergeletak di lantai. Shalahuddin memungutnya, dan meletakkan kembali salib itu di atas meja persembahyangan kaum Nasrani… Ya, Shalahudiin benar-benar berjuang demi Islam, bukan demi balas dendam. dan ia berjuang dan berperang tidak sembarangan: ia mengikuti perintah junjungan dan kekasih hatinya, Rasulullah SAW, yang pernah memerintahkan sahabatnya bahwa dalam peperangan diharamkan membunuh orang-orang yang tak terlibat dalam peperangan (penduduk sipil. anak dan wanita), tidak boleh merusak rumah penduduk, bangunan tempat ibadah, bahkan tidak boleh merusak tanaman dan menyakiti hewan. Jatuhnya Yerusalem ke tangan Shalahudiin menggemparkan eropa. Paus Gregory VII memerintahkan penyiapan pasukan perang untuk merebut kembali Yerusalem. Dan kelak, sejarah akan menyaksikan pertempuran yang fair dan elegan antara dua ksatria perang salib yg paling terkenal: Shalahuddin al-Ayyubi melawan King Richard the Lionheart…. Perayaan Maulud Nabi, salah satu warisan Shalahuddin, masih lestari hingga kini. KItab-kitab Maulid dan syair2 pujian semacam Barzanji, Maulid Diba’, Simtud Durror, dan lain sebagainya, telah mengilhami ribuan ulama yg saleh, membangkitkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad ‘adada ma fi ilmillahi shalatan da’imatan bidawami mulkillahi Allahumma shalli ala nuril anwari wa siriil asrari wa tiryawil aghyari wa mifathi babil yasari sayyidina Muhamadinil mukhtari wa alihil athhari wa ashhabihi akhyari adada ni’amillahi wa ifdhalih. Allahumma shalli wa sallim wa barik alaih… , Menjelang Peringatan Kelahiran Rasulullah.
by Triwibs Kanyut Yogya (Rektor SENTHIR Al-Fesbukiyyah)

Kiri Islam: Memaknai Islam Sebagai Suara Pembebasan Kaum Tertindas

Wacana Kiri Islam/Sosialisme Islami mulai hadir pada tahun 1981 di Mesir, dibawa oleh Dr. Hasan Hanafi, seorang Doktor muda yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Kairo dengan Jurnal Madha Ya’ni Al-Yasar Al-Islami. Jurnal yang beliau susun kemudian mulai mendunia, tapi terhambat oleh masalah dana. Pada tahun 1988, Kazuo Shimogaki, seorang pemerhati Timur Tengah dari Institute of Middle East Studies International University Jepang membuat buku yang mengkritisi jurnal ini yang kemudian dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia pada tahun 1993.
Tetapi sebenarnya pergolakan wacana sosialisme Islam sudah terlebih dulu hadir di Indonesia, Neqara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Menurut “Buku putih” (G.30-S Pemberontakan PKI) yang diterbitkan oleh Sekneg pada tahun 1994, bahwa pertentangan di dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Fraksi komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Tan Malaka berusaha mengendalikan dan menguasai jalannya Kongres,… tapi usaha mereka ini ditentang oleh seorang tokoh SI, H.Agus Salim. H. Agus Salim menjawab semua argumen Semaun dan Tan Malaka dengan mengatakan bahwa, “Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan sosialisme sejak seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx” (hal: 11). Sangat sayang, H. Agus Salim tidak menjelaskan isi ajaran Sosialisme yang diberikan Nabi Muhammad tsb dan juga tidak menjelaskan mengapa setelah 14 abad lamanya, ajaran sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad itu belum membumi. Ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad tsb tentu bersumber dari dari Al Quran. Marilah kita kaji ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran dan tanggapan sementara tokoh-tokoh agama Islam terhadap sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad. KONSEP KEADILAN KOLEKTIF Islam pada dasarnya merupakan agama pembebasan, ujar Mansour Fakih dalam tulisannya “Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas”. Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah sesungguhnya Muhammad lahir. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, sebenarnya lebih karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad. Oleh karena itu persoalan yang timbul antara kelompok elite Mekkah dan Muhammad sebenarnya, bukan seperti yang banyak diduga umat Islam, yakni hanya persoalan “keyakinan agama”, akan tetapi lebih bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta. Dalam kaitan ini sesungguhnya misi utama Muhammad adalah dalam rangka membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan dan ketidak adilan. Dalam perspektif teologi kaum tertindas, ujar Mansour Fakih, peran seorang Rasul seperti Muhammad, Isa dan yang lain adalah sebagai seorang pembebas kaum tertindas. Musa, misalnya, sebagaimana Muhammad juga, tugas utamanya adalah membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan Firaun. Watak dari teologi pembebasan untuk kaum tertindas ini, selanjutnya juga telah dikembangkan oleh kelompok Khawarij. Merekalah yang pertama-tama dalam sejarah Islam mengembangkan doktrin demokrasi dan sosialisme agama. Kebangkitan gerakan Khawarij juga dilatar belakangi oleh fenomena kontradiksi ekonomi yang muncul dalam bentuk persoalan kepemimpinan dan masyarakat. Kontradiksi ini melahirkan kelompok Khawarij, suatu aliran yang menekankan pada konsep keadilan kolektif. Konsep keadilan kolektif inilah yang jadi asal muasal pandangan sosialistis dalam Islam (hal: 172-173, dalam buku “Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam”, 1989) Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb tentu adalah sosialisme yang hendak membebaskan kaum tertindas dan menjadikan kaum tertindas tsb sebagai pemimpin di bumi dan itu adalah tingkat rendah dari masyarakat Tauhidi (ummat yang satu, tanpa kelas-kelas). SOSIALISME DALAM AL QURAN Ajaran-ajaran sosialisme dari Nabi Muhammad SAW tentu berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran. AL Quran cukup jelas mengutuk orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, hendak menjadikan kaum tertindas dan miskin (mustadhafin) menjadikan pemimpin di bumi dan mewarisi bumi, guna menuju ummat yang satu (tauhidi). Marilah kita cermati ayat-ayat tsb. a. TERKUTUKLAH ORANG-ORANG YANG MENUMPUK-NUMPUK HARTA Bahwa Islam menentang sistem kapitalisme cukup gamblang diwakili oleh Surat al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).Menjadi pertanyaan: dari mana mereka peroleh harta yang mereka tumpuk-tumpuk tsb? Tentu tidak hanya dari hasil keringatnya sendiri, melainkan juga dari hasil keringat orang lain, dengan melalui berbagai cara yang tidak halal. Padahal surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: “Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya”. Juga cukup jelas surat Al An’am ayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir. Haram memakan darah yang mengalir itu bukan hanya secara harfiah, misalnya melukai sebagian kulit seseorang kemudian dihirup darahnya yang mengalir di tempat yang dilukai tsb, tetapi yang lebih mendalam ialah menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Seperti yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum buruhnya. Kaum buruhnya tidak akan bisa diperas atau dihisapnya, sekiranya darahnya tidak-mengalir lagi dalam tubuhnya. Jadi, menghisap tenaga kerja kaum buruh, adalah sama dengan memakan darah yang mengalir dalam tubuh kaum buruh tsb. Menurut HOS Tjokroaminoto melalui bukunya “Islam dan Sosialisme” yang ditulisnya pada bulan November 1924 di Maitarat, bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan –semua perbuatan yang serupa itu (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih -pen) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan “riba” belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada “akarnya”, membunuh kapitalisme mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx dan “memakan riba”, sepanjang fahamnya Islam (hal: 17). b. YANG TERTINDAS HENDAK DIJADIKAN PEMIMPIN Bahwa agama Islam itu adalah agama pembebasan bagi kaum tertindas dan miskin,jelas sekali dikemukakan surat Al Qashash ayat 5 dan 6 yang berbunyi: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhuafa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan kami tegakkan kedudukan mereka di bumi.”Dari ayat ini jelas sekali bahwa Tuhan secara terbuka memihak kepada kaum mustadhafin dalam perjuangannya melawan kaum mustakbirin (para tiran, angkuh dan kaya). Tuhan tidak bersikap netral dalam pertentangan antara kaum tertindas melawan kaum penindas. Bila kaum mustadhafin sudah menjadi pemimpin di bumi, maka tentu telah tertutup jalan bagi kaum mustakbirin melakukan penindasan lagi terhadap kaum Mustadhafin dan itulah Sosialisme Islam. Menurut Asghar Ali Engineer melalui bukunya “Islam dan Pembebasan” bahwa pertarungan antara mustadhafin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatakan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadhafin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya dan miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al Quran menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islam lah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner transformatif dan membebaskan itu (hal: l4). Penilaian Asghar Ali Engineer yang terakhir ini sejalan dengan penilaian Ulil Abshar Abdallah melalui bukunya “Membakar Rumah Tuhan”. Menurut Ulil Abshar Abdallah bahwa persis hal ini dengan apa yang terjadi pada agama Islam: semula menjadi agama emansipatoris yang membawa aspirasi pembebasan dan perubahan, sekarang menjadi agama yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo) (1999, hal: 44). c. MASYARAKAT TAUHIDI, TANPA KELAS-KELAS Cukup jelas Tuhan melalui surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: “Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku. “Menurut Mansour Fakih dalam tulisannya “Mencari Teologi untuk Kaum Tertindas”, bahwa doktrin tauhid adalah tema pokok setiap teologi dalam Islam. Tauhid dalam teologi pembaharuan, berkisar sekitar ke-Esaan Tuhan, dengan penolakan terhadap penafsiran terhadap Tuhan. Tauhid dalam perspektif “teologi kaum tertindas” lebih ditekankan kepada keesaan ummat manusia. Dengan kata lain doktrin Tauhid menolak segenap bentuk diskriminasi dalam bentuk warna kulit, kasta ataupun kelas. Konsep masyarakat Tauhidi adalah suatu konsep penciptaan masyarakat tanpa kelas (hal: 173). Dalam masyarakat Tauhidi ini, ummat benar-benar satu, tidak dibedakan lagi karena kedudukan sosial, karena jenis kelamin, karena warna kulit dsb. Dan itu adalah sama dengan masyarakat komunis. Masyarakat Tauhidi ini, adalah tingkat yang lebih tinggi dari masyarakat yang dijanjikan Tuhan: “Akan menjadikan kaum mustadhafin menjadi pemimpin di bumi dan mewarisi bumi.” Untuk bisa membuminya isi surat Al Qashash ayat 5-6 sebagai langkah awal menuju masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), maka kaum mustadhafinharus mengamalkan Surat Al Ra’du ayat 11, yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tiada mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka. “Menurut petunjuk Al Quran tsb, bila kaum Mustadhafin (tertindas dan miskin) tidak mengubah keadaan diri mereka, tidak berjuang melepaskan belenggu yang dililitkan mustakbirin di leher dan di kakinya, maka mereka tetap akan tertindas dan miskin. Kaum mustadhafin tidak akan berubah keadaannya, bila mereka hanya mengharap belas kasihan kaum mustakbirin. Kaum mustakbirin tidak akan dengan sukarela melepaskan belenggu yang mereka pasungkan pada leher dan kaki mustadhafin. Perjuangan melepaskan belenggu dari tubuh kaum mustadhafin adalah perjuangan kelas dalam bahasa Karl Marx, “usaha kaum” dalam bahasa Ar Ra’du ayat 11.Malahan supaya kaum mustadhafin ini bisa bebas dari penindasan, Tuhan memperingatkan ummat Islam melalui surat An Nisa ayat 75: “Mengapa kamu tiada mau berperang di jalan Allah dan (membela) orany-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, dan kanak-kanak yang semuanya berdoa: “Ya, Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisiMu, dan berilah kami penolong dari sisiMu”. Dengan demikian jelas bahwa berjuang (berperang) diizinkan Al Quran untuk mengakhiri kezaliman dan untuk melindungi orang-orang yang lemah dari penindasan orang-orang kuat. Al Quran tidak mengizinkan berperang untuk memaksa seseorang memeluk agama Islam. Hal itu dengan tegas telah dikatakan Tuhan: “La ikraha fi al Din” (tidak ada paksaan dalam agama). Malah surat Al Kafirun dengan tegas mengatakan: “Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. TITIK PERTEMUAN ISLAM DAN KOMUNISME AK Pringgodigdo SH dalam bukunya “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia” mengemukakan bahwa H. Misbach, seorang komunis keagamaan 76 tahun yang lalu, di depan Kongres PKI di Bandung pada tanggal 4 Maret 1925 menunjukkan dengan ayat-ayat Al Quran, hal-hal yang bercocokan antara komunisme dan Islam (antaranya, kedua memandang sebagai kewajiban, menghormati hak-hak manusia dan bahwa keduanya berjuang terhadap penindasan) dan diterangkannya juga, bahwa seseorang yang tidak menyetujui dasar-dasar komunis, mustahil ia seorang Islam sejati; dosanya itu adalah lebih besar lagi, kalau orang memakai agama Islam sebagai selimut untuk mengkayakan diri sendiri. Komunisme menghendaki lenyapnya kelas-kelas manusia (hal: 28). Seorang Bung Karno melalui tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” mengatakan: “Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme musuh marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula”; “Islamis yang “fanatik” dan memerangi marxisme, adalah Islamis yang tak kenal larangan-larangan agamanya sendiri”; “Hendaknya kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu dengan pergerakan marxis, banyak persesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan” (DBR, hal: 12-15-14). KESIMPULAN H. Agus Salim benar bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan Sosialisme seribu dua ratus tahun sebelum Karl Marx. Karena Manifes Komunis yang terbit pada tahun 1848 adalah hasil studi Karl Mark tentang perkembangan sistem masyarakat sebelumnya. Tentu juga termasuk, baik secara langsung atau tidak, Sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad tsb. Karena tujuan yang hendak dicapai Islam dengan komunis sama-sama masyarakat tanpa kelas (Tauhidi-komunis) dan hal itu akan terwujud melalui tingkatan masyarakat sosialis (mustadhafin menjadi pemimpin di bumi). Masyarakat sosialis baru terwujud atas “usaha kaum” atau perjuangan kelas, maka sudah pada tempatnya kerjasama komunis untuk merebutnya. Hanya saja kaum kapitalis (mustakbirin) berkepentingan mencegah terjadinya kerjasama Islam dan komunis, agar kaum kapitalis tetap dapat berkuasa. Karena Sosialisme adalah ajaran Nabi Muhammad SAW sendiri, maka semestinya setiap yang mengaku Muhammad itu adalah Rasullullah, ia akan memperjuangkan untuk adanya sosialisme itu. Itu sebagai langkah awal untuk membuminya masyarakat Tauhidi di Indonesia. Karena itu terasa aneh, karena dewasa ini di Indonesia, tidak ada satu partai yang memakai bendera Islam yang mengibarkan panji-panji Sosialisme. Malah ada yang menentang Sosialisme. Hal itu sudah disinyalir oleh Ulil Abshar Abdalla bahwa ada orang Islam yang diperalat guna melegitimasi suatu tatanan (status quo). Sesungguhnya orang yang mengaku Islam, tetapi tidak berjuang untuk membumikan masyarakat Tauhidi (ummat yang satu), tentu dipertanyakan keIslamannya: apakah mereka benar-benar pengikut Nabi Muhammad Saw, atau tidak? Jika ya, tentu mereka akan mendukung tegaknya masyarakat Tauhidi tsb. Bila tidak, soalnya menjadi lain. ***

HUKUM PERINGATAN MAULID NABI SAW

Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa

kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya

akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah

keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan

pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan

kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya

_ Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari

kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)

_ Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya,

dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)

_ Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits

no.4177)

_ Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya

Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia

(ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas

kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw

hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur

juz 6 hal 583)

_ Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

_ Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat

melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya

menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

_ Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14

buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang

1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini

muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran

Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat

salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw

Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu

adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).

dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw

asal dengan puasa.

Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan

beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw.

Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh

boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi

beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.

Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat

umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..

bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang

berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1

januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian

pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia

tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak

memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat

ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar

pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1

januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa

boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya

pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw

menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai

tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka

jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau

saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw

Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka

Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka

Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi

saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,

dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan

dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala

shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran

Nabi saw

Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan

Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di

neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku

Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits

no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul

baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh,

namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut

kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira

dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun

mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi

orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas

kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya

menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam

dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar

ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang

lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu

Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan

doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata :

“betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram,

sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid,

namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah,

pada keduniawian, namun syair syair yang memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu

diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw

sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan

bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia

berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058,

sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat

yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci

hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz

8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :

Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw

datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10

Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari

ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa

sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak

atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah

yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa

didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca

Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman

Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG

ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al

Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :

Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah

untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832

dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah

diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau

saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah

beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada

Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan

membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan

tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan

saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk

mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang

sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii

‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :

Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang

diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan

kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw

dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan

kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam

kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :

Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa

keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam

senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku

atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih

Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka

mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana

dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka

demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia

akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam

kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :

Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil

hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah

Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan

setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan

bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan

pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah

Dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah

adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah

Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang

pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita

gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya

serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah

Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami

berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yang menjadikan hari

kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang

terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi

Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri

Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir

Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy

Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy

Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al

lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy

Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi

Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy

yang terkenal dengan ibn diba’

Dengan maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami

Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri

Mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn

hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’

Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji

Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani

Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy

Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy

Dengan maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy

Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

27. Syihabuddin Al Halwani

Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati

Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy

Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi

Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini,

mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid

sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya

menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas

meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam

dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa

risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang

dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin

Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk

tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian

pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang

dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk

majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk

kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan

berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk,

dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa,

sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang,

namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk

Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal

93)

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca

maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul

saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw

hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah

masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas

adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah

melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak

terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita

menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan

kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita

shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam

Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan

Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji

pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk

Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan

kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan

berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah

menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah,

(berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu

bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan

mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah

mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh

dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al

Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk

Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang

diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul

saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan

mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan

risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan

ada yang mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara

membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap

muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini

merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa

“Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab

kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat

hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita

akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus

membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu

dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib .

Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju

hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju

kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh

siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena

diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan

dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan

ummat sudah tak perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang

Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah

dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena

menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta

silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman nabi

saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai

banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah

banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat,

walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat

radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang

muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yang

masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati

dan kejernihan, amiin.

Walillahittaufiq

Munzir Almunsawa

Kenalilah Akidahmu

Akidah Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagi kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”

Secara historis, para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA, karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah”.

Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah

Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:

افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً  كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً قَالُوا : مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ

“Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.

Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.

Ruang Lingkup Aswaja

Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah  dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H – 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama  menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.

Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-‘Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.

Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.

Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).

Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.

Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.

Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah.

Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah” dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.

Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.

Hubungan Agama dan Kesenian

Dalam konteks hubungan agama dan kesenian, kalangan pesantren selalu saja terbelah. Misalnya jika ada pameran lukisan, kelompok pertama dengan segera akan menyergap, tak ada gunanya, bahkan tindakan itu dianggap telah bersekutu dengan setan karena melanggar batas syar’i. Terkait jawaban ini, mereka biasanya lalu menyodorkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di hari Kiamat adalah perupa.” Karena perupa (pelukis, pemahat dan pematung) dianggap “menyaingi” Allah, dengan “menciptakan” makhluk.

Ditulis juga dalam hadis tersebut, kelak perupa itu akan dimintai pertanggung-jawaban untuk memberi nyawa; jika tidak sanggup, mereka akan disiksa. Dalam riwayat Muslim yang lain, diterangkan Sayyidah Aisyah mendapatkan hadiah kain yang ada gambarnya (lukisan) dari pembesar Dinasti Romawi, lalu ia membentangkan kain itu di rumahnya, Nabi yang mengetahui itu kemudian bersabda: “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung.” Demikianlah sederet dalil yang biasa digunakan untuk mengharamkan gambar dan patung.

Sementara kelompok yang kedua yang mendukung; punya alasan bahwa berkesenian adalah sifat intuitif alamiah seorang manusia. Dan islam hampir di segala bidanga menyerukan pemeluknya untuk selalu berkreasi (mencipta). Alasan yang berasal dari dalil shahih, misalnya bisa ditemukan dalam hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: “Bahwa Allah itu indah dan mencintai keindahan“.

Kenapa umat Islam terpecah dalam dua kelompok seperti itu? Sejarawan muslim ulung  Khalil Abdul Karim dalam bukunya “Al-Judzurut Tarikhiyyah li Syari’atil Islamiyah”  berkesimpulan, karena ada dua kecenderungan pada umat Islam, yang pertama melihat hukum (nash) secara tekstual an-sich, dan yang kedua melihatnya secara tekstual dan kontekstual. Terkait dengan hadis di atas, ia berpendapat dalam ranah sejarah Islam awal (asbabul nuzul), itu terkait dengan paganisme, yaitu patung saat itu menjadi pujaan (Tuhan). Sementara Islam datang hendak menegakkan ajaran tauhid dan menghancurkan segala bentuk kemusyrikan itu. Patung yang dikenal oleh bangsa Arab ketika Islam lahir di Hijaz tidak bertujuan untuk seni, tapi sebagai tuhan dan sesembahan.

Karena itu, Menurut Ahmad Amin dalam karyanya, “Fajrul Islâm” (Fajar Islam) tentu tak layak jika menilai hasil seni (lukisan) yang bertujuan kesenian itu dalam koridor hukum fikih, misalnya haram dan tidaknya, salah dan benarnya, akan tetapi seharusnya indah atau tidaknya.

Pertemuan Islam dan Kebudayaan

Seperti penjelasan di atas, Islam dan kesenian seringkali digambarkan sebagai dunia yang berbeda, sulit dipertemukan. Agama berisi aturan dan norma moral, sementara kesenian mengeksplorasi kreatifitas dan kebebasan. Di banyak tempat ketegangan antar dua kelompok ini kadang tak terelakkan. Tapi dalam kenyataannya, apa yang pernah dicapai Islam dalam mewujudkan peradaban dunia, kaum seniman dan ulama bisa berdialog dan bersandingan. Misalnya yang terjadi pada pembangunan Masjid Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ Al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat as-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem merupakan sebagian contoh di Arab.

Peradaban Islam itu mencapai puncaknya (golden age) pada masa Dinasti Umayyah di Damaskus (Siria) dan Dinasti Abbasiah di Baghdad (Irak). Islam tidak sekedar bersinggungan dengan seni rupa, sastra, teater, musik, dan arsitektur yang luar biasa indahnya, tapi juga turut mewarnai nafasnya. Sementara pengaruh islam pada kebudayaan kita, itu misalnya bisa kita temukan pada arsitektur Menara Kudus, Jawa Tengah, yang merupakan percampuran simbol Islam dan Hindu. Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat pula tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Masih banyak contoh lain yang serupa dalam sepanjang zaman di berbagai negara.

Dari sederat sejarah itu bukankah sudah cukup sebagai saksi, bahwa hubungan antara islam dan kebudayaan tak bisa dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan. Karena terbukti, hadirnya agama bisa mewarnai nafas kebudayaan, dan hadirnya kebudayaan bisa memperkaya seperangkat hukum dan seluk beluk agama. Kalau begitu bukankah sudah seharusnya keduanya terus bisa diupayakan berdialog dan bersandingan. Kerena sejatinya seni itu punya kehendak untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan. Dan itu sama halnya dengan agama, ia berangkat dari pemaknaan bahwa sesungguhnya ajaran (agama) juga bertujuan memuliakan manusia.

Pesantren dan Kesenian

Di negeri ini, kita bisa menemukan hubungan yang sangat harmonis antara Islam dan kesenian itu ada pada pesantren. Kenapa demikan? Karena watak pesantren selalu apresiatif terhadap kebudayaan lokal. Karena watak pesantren yang demikian ini, kehadirannya bisa diterima di khalayak luas. Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyatan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para wali. Nikii Keddie (1987), pengamat agama Islam asal Timur Tengah itu berpendapat watak dan ciri khas inilah yang menjadi pembeda dengan Islam-Arab dan tentu saja kebangggan Islam sebagai peradaban di Asia Tenggara. (Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987)

Dan sampai sekarang pesantren masih mempertahankan watak aslinya; yaitu ia memiliki tradisi unik dan unggul yang tidak ditemukan di negara lain. Salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Misalnya dengan pola pengajaran sorogan, blandongan dan hafalan nadzaman berupa puisi liris arab. Selain itu yang menjadi ciri khasnya adalah seperangkat busananya, seperti memakai sarung, peci, baju koko dan lain sebagainya, yang semua itu asli dari warisan pribumi (bukan Arab). Tak heran jika Abdurrahman Wahid  berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur.

Hasil dari persinggungan itu, tak mengherankan jika para “santri”banyak menghasilkan karya-karya berkelas dunia dengan nilai seni yang luar biasa indahnya, seperti beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH Hasyim Asy’ari dengan Syair-Syair Ahlul Bait, KH Bisri Mustofa dengan Al-Ibriz, KH Abdul Hamid dengan Nadzam Sulam Taufiq dan lain sebagainya. Karya tersebut menjadi referensi penting dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.

Karena itu, tak syak, Islam sebagai agama dan pesantren sebagai alat dakwahnya terbukti mampu tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam.

Oleh Aguk Irawan MN *Penulis adalah Anggota Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia) PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta
nu.or.id

HYMNE PMII (lirik)

Bersemilah, Bersemilah
Tunas PMII
Tumbuh subur, tumbuh Subur
Kader PMII

Masa depan Kita rebut
Untuk meneruskan perjuangan
Bersemilah, bersemilah
kaulah harapan bangsa

Bersemilah, Bersemilah
Tunas PMII
Tumbuh subur, tumbuh Subur
Kader PMII

Masa depan Kita rebut
Untuk meneruskan perjuangan
Bersemilah, bersemilah
kaulah harapan bangsa

BERJUANGLAH PMII (lirik)

Berjuanglah PMII Berjuang
Marilah kita bina Persatuan 2X
Hancur leburkanlah angkara murka,
perkokohlah barisan kita…siap…

Reff.
Sinar api Islam kini menyala
Tekat bulat kita membara 2X
Berjuanglah PMII Berjuang
Menegakkan lalimat Tuhan

Berjuanglah PMII Berjuang 2X
Marilah kita bina Persatuan
Hancur leburkanlah angkara murka,
perkokohlah barisan kita…siap…

Reff.
Sinar api Islam kini menyala
Tekat bulat kita membara 2X
Berjuanglah PMII Berjuang
Menegakkan kalimat Tuhan

MARS PMII (lirik)

Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satu cita
Pembela bangsa, penegak agama
Tangan terkepal dan maju kemuka

Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya
Islam yang benar
Bangun tersentak dari bumiku subur

*Reff :
Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku

Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas meerdeka
Tangan terkepal dan maju kemuka

Denganmu PMII
Pergerakanku
Ilmu dan bakti, ku berikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku

*untuk download masuk di kategori download*

Download Lagu-Lagu PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Download Mars PMII (Indonesia)

Download Mars PMII (Arab)

Download Mars PMII (Inggris)

Download Orkes Mars PMII

Download Hymne PMII

Download Berjuanglah PMII

Kasus Anand Krishna: Dari Pelecehan Agama Hingga Pelecehan Seksual

Tidak mengherankan apabila ada kabar pelecehan seksual yang dilakukan oleh Anand Krishna terhadap para murid wanitanya.  Karena sepanjang kiprahnya, Anand Krishna sudah terbiasa melakukan pelecehan yang lebih besar lagi, yaitu pelecehan agama.

Menurut H Amin Djamaluddin, pengurus MUI Pusat, pelecehan agama ini dilakukan oleh guru semedi Anand Krishna karena ia menganut ajaran sinkretisme, yaitu mencampur aduk semua ajaran agama, antara lain: Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam. Inilah beberapa kesimpulan ketua Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI), yang dikutip langsung dari buku-buku tulisan Anand Krishna:

Anand Krishna Ajarkan Sinkretisme Ketuhanan

Menurut pemahaman Anand Krishna, “Tuhan” bukanlah dzat yang Maha Mulia, tapi sebatas pada sistem yang ada di dalam diri manusia. Jadi kedudukan Tuhan menurut konsep Anand lebih rendah dari manusia, karena Tuhan sederajat dengan sistem kesadaran pada diri manusia, atau sistem sel pada otak manusia. Jadi, Tuhan itu bagian dari makhluk (manusia), bukan al-Khalik, begitu menurut pemahaman Anand Krishna.

Sistem kesadaran pada manusialah yang kemudian melahirkan adanya “Tuhan”. Manusia merasa inferior, maka perlu mendapat perlindungan dari sesuatu yang lebih superior. Maka kesadaran akan adanya hal inilah yang secara otomatis melahirkan “kebutuhan” akan “Tuhan”, dengan nama yang berbeda-beda (ada yang menyebutnya Widhi, Yang Satu dan sebagainya). Jadi, pemahaman konsep “Tuhan” yang dihasilkan Anand sama saja dengan pemahaman yang selama ini disosialisasikan oleh kalangan kiri (Marxisme dan sebagainya).

Dalam buku berjudul “Asmaul Husna”, Krishna menulis:

“Yang membentuk dalam kepribadian kita, yang menentukan pemahaman kita, yang memberikan daya pikir kepada kita, itulah Allah, itulah Tuhan, itulah Widhi, itulah Yang Satu, walaupun dipanggil dengan berbagai nama.” (hal. 43).

“Agama kita memang berbeda tapi jangan mengkotak-kotakkan Tuhan, ini Tuhanmu, itu Tuhanku. Bagaimana kita dapat membagi-bagikan Tuhan Yang Maha Tunggal adanya.” (hal 175).

“Ketahuilah bahwa Allah yang kita sembah, Tuhan yang mereka percaya itu sama dan satu adanya. Sembahlah Ia yang adalah Al-Ahad.” (hal 177).

Kecenderungan itu juga bisa dilihat pada buku AH! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan:

“Tuhan itu Maha Adil adanya. Tuhan itu Maha Pengasih adanya. Semuanya hanyalah ‘atribut-atribut’ yang anda berikan kepada Tuhan…” (hal. 80).

Jadi, karena sifat manusia yang cenderung tidak adil, bahkan kepada dirinya sendiri, maka sistem kesadarannya menciptakan “Tuhan” yang bersifat Maha Adil, Maha Pengasih, dan sebagainya. Begitulah konsep “Tuhan” menurut Anand.

Anand Krishna melecehkan wahyu Allah dan para nabi-Nya

“Tuhan itu Maha Adil Adanya, Tuhan Itu Maha Pengasih Adanya, Tuhan itu Maha Ini Adanya, Tuhan itu Maha Itu Adanya. Semuanya hanyalah “atribut-atribut” yang anda berikan kepada Tuhan. Atribut-atribut pemberian anda. Ada yang berdalil “Oh tidak, bukan pemberian manusia. Tuhan yang menyatakan lewat wahyu-Nya pada Si Fulan.”

Nah, si Fulan itu siapa? Bukankah ia pun manusia yang berdarah dan berdaging seperti anda dan saya? Wahyu yang diterima oleh si Fulan dan para Fulan lainnya juga masih tetap harus dijabarkan lewat kata-kata dan pikiran manusia.

Dan setiap kata, setiap pikiran sesungguhnya memiliki wujud. Orang Islam menertawakan orang Hindu karena memuja berhala. Orang Hindu menertawakan orang Islam karena memberhalakan kaligrafi Arab.

Yang memajang lukisan dewa dan yang memajang kaligrafi Arab, jika salah, ya dua-duanya salah. Jika benar, ya dua-duanya benar.” (AH! Mereguk Keindahan tak Terkatakan, hal 80-81).

Anand Krishna Menghina Muslimah Berjilbab

Anand Krishna juga menghina wanita berjilbab, dalam tulisan di bukunya:

“Mereka yang menutup rapat badannya (memakai jilbab, pen) tidak lebih baik daripada mereka yang memamerkan badannya. Dua-duanya masih berada pada kesadaran lahiriyah.” (AH! Mereguk Keindahan tak Terkatakan,  hal. 34).

Di samping cenderung melecehkan, pernyataan Anand Krishna di atas menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan serius pada konsep moral dalam dirinya, sehingga ia menilai sama saja antara orang telanjang dengan berpakaian.

Sedangkan pada buku “Telaga Pencerahan Di Tengah Gurun Kehidupan,” Anand Krishna tidak saja melecehkan, tetapi menyebutkan bahwa sumber hukum tentang jilbab tidak jelas:

“Saya bertanya pada seorang wanita, mengapa ia selalu menutup lehernya, padahal cuaca di Jakarta cukup panas dan saya melihat bahwa ia sendiri kegerahan… ‘Mengapa kau tidak buka saja lehermu itu?’ Saya terkejut sekali mendengarkan jawabannya, ‘Cowok-cowok biasanya terangsang melihat leher cewek, itu sebabnya saya menutupinya.’ Ia membenarkan hal itu dengan menggunakan dalil… Lucu, aneh! Ia diperbudak oleh peraturan-peraturan yang sumbernya pun tidak jelas” (hal. 20).

Anand Krishna Melecehkan Al-Qur’an dan Ibadah Semua umat Islam

Jahatnya, Anand Krishna melecehkan ayat Al-Qur’an: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS Adz-Dzariyat 51:56). Ia menuding orang yang mengamalkan ayat ini sebagai orang yang tidak waras sehingga perlu dibantu psikolog. Anand menulis:

“Yang tua akan mati. Yang mati akan lahir kembali dan yang lahir kembali akan mati lagi. Lalu, di balik kelahiran dan kematian berulang kali –adakah suatu tujuan?

Timur Tengah akan menjawab, “Agar manusia bisa beribadah kepada-Nya.”  Asia Tengah akan menjawab, “Agar manusia mencapai kesempurnaan dan bisa kembali kepada-Nya.”  Masih banyak jawaban lain yang dapat kita peroleh –jawaban-jawaban yang sangat janggal.

Jawaban “agar manusia bisa beribadah kepada-Nya” melahirkan sosok Tuhan yang haus perhatian. Ia membutuhkan seorang psikolog, seorang psikiater. Begitu hausnya Dia akan perhatian, sehingga menciptakan dunia yang amburadul dan tidak terurusi dengan baik.” (AH! Mereguk Keindahan tak Terkatakan, hal. 99-100).

Anand Krishna menghina hukum Islam tentang qishas dan merendahkan para sahabat Nabi Muhammad

Selain melecehkan ketentuan berjilbab, Anand Krishna dalam bukunya berjudul “AH! Mereguk Keindahan Tak Terkatakan” juga melecehkan hukum qishosh (balasan pembunuhan) dan diyat (denda pembunuhan). Tulisan itu sebagai berikut:

“Baru-baru ini seorang tokoh masyarakat menyatakan, agar mereka yang dianggapnya ‘berdosa’ terhadap masyarakat Aceh diadili di Aceh, dengan menggunakan hukum adat Aceh. Lalu, ia mnejelaskan bahwa berdasarkan hukum adat, seorang pembunuh harus diberi hukuman mati atau membayar denda. Dengan apa pula denda yang ia maksudkan? Seorang pembunuh harus membayar denda onta, yaitu 50 ekor onta, yang ia rupiahkan menjadi Rp 250 juta. Satu onta dihargai Rp 5 juta. Saya cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala saya. Jika hukum seperti itu diberlakukan, mereka yang berduit dengan sangat mudah bisa memperoleh SIM (Surat Izin Membunuh). Bayangkan, dengan satu miliar rupiah saja, anda sudah boleh membunuh empat orang. Bahkan, nantinya bisa-bisa pemerintah tingal jual ‘Kartu Membunuh Pra-Bayar’. Kalau sudah habis pulsa tinggal diisi ulang” (hal. 61)

Masih melalui tulisan yang sama, Anand tidak saja melecehkan hukum qishosh dan ketentuan diyat, ia juga telah merendahkan para sahabat Nabi Muhammad SAW, yang dianggapnya sebagai manusia yang belum cukup sadar akan nilai kemanusiaan, dan hanya faham satu-satunya bahasa yaitu bahasa materi. Ini satu penghinaan yang sangat nyata, yang maknanya adalah menghinda Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah Syariah Islam, dan bahkan menghina Allah SWT yang mewahyukan ketentuan tersebut.

“Sang tokoh tadi tidak sadar bahwa hukum seperti itu mungkin sangat efektif di masa lalu. Ketika, seorang bisa membunuh orang lain hanya karena satu onta, hukuman membayar 50 onta menjadi sangat bermakna. Sangat berarti dan sangat efektif untuk membuat si calon pembunuh berfikir 50 kali. Jelas, hukum seperti itu tidak bisa diperlakukan lagi. Taruhlah, angka 50 onta diganti menjadi 500 onta, atau 5000 onta –yang jelas, nyawa manusia tidak bisa dihargai dan dinilai demikian.”

“Seribu limaratus tahun yang lalu, adanya hukum seperti itu di tanah Arab bisa difahami. Masyarakat Arab saat itu masih belum cukup sadar akan nilai-nilai kemanusiaan. Satu-satunya bahasa yang mereka fahami adalah bahasa materi. Dan ‘materi pada zaman itu, dikaitkan dengan jumlah onta atau domba yang dimiliki oleh seseorang. Sekarang ceritanya sudah lain.”

Dari beberapa contoh dan uraian di atas, sudah dapat dengan jelas ditarik kesimpulan, bahwa ajaran Anand Krishna sangat merendahkan dan mengacaukan konsep tentang Tuhan. Selain itu, ia tidak saja meragukan ajaran agama, khususnya Islam, tetapi justru melecehkan, dengan dalih “saya hanya seorang penyelam” (hal. 62)

Dulu, guru semedi Anand Krishna melecehkan Islam. Sekarang ia melakukan pelecehan seksual kepada para murid wanita di ruang semedi. Besok, siapa yang jadi korban pelecehan guru semedi Anand Krishna? [taz, dari berbagai sumber]