Sekilas Profil Gerakan-Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia

Mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan di negeri ini. Dan  mahasiswa melalui gerakan-gerakan mahasiswa. telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Gerakan mahasiswa walaupun sering berbeda-beda ideologinya namun tetap menjalankan fungsinya untuk terus bersikap kritis dan menyuarakan perubahan ke arah yan lebih baik.

Berbagai macam gerakan mahasiswa tumbuh di negeri ini termasuk gerakan mahasiswa dari mahasiswa muslim. Adalah satu bukti sejarah bahwa pergerakan mahasiswa muslim tidak bisa dipandang remeh dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Bahkan, dapat dikatakan mahasiswa muslim menjadi energi yang konsisten dalam tribulasi pergerakan mahasiswa di Indonesia. Dari waktu ke waktu, dalam berbagai wadahnya, gerakan mahasiswa muslim menjadi pagar betis yang berdiri dibarisan terdepan dalam mengawal perubahan demi perubahan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia terdapat beberapa organisasi mahasiswa ekstra kampus yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo

HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Dalam perjalanan awalnya HMI menjadi underbow dari parpol Masyumi saat itu.

Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”

2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU. Dalam kenyataannya kini hubungan PMII dan NU lebih berupa hubungan interdependen yana masih relatif terkait secara ideologis, emosional dan kultural walaupun tidak secara struktural. PMII menjadikan aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah) sebagai manhaj (metode) berpikir dan pegerakannya. Ada 4 prinsip aswaja yang jadi landasan gerak  PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil).

Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.

Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.

Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat[8].


4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru yang mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986.

Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.

HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.


5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

KAMMI lahir para ahad tanggal 29 April 1998 bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang. KAMMI awal kali muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis aktivis dakwah kampus pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam pergerakannya KAMMI banyak berpedoman dan dijiwai nilai-nilai pergerakan Ikhwanul Muslimin dari Hasan Albana.

Ada beberapa alasan mengapa KAMMI harus lahir. Pertama, adanya indikasi upaya rezim pemerintah mematikan potensi bangsa sehingga mendorong segera didengungkannya tuntutan reformasi. Kedua, suara umat Islam mulai terabaikan, sehingga penting untuk segera berbuat. Ketiga, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia. Keempat, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.

Dalam perjuangan reformasi tahun 98, bersama elemen pergerakan mahasiswa lainnya KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Rezim Suharto dengan segala macam kebobrokannya, akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998.

Namun menurut KAMMI, paska keruntuhan Suharto proses reformasi di Indonesia belumlah usai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan aksi menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.

Sejarah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

sumber: wikipedia

Kisah Insyafnya Seorang Ulama Wahhabi

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin –ulama Wahhabi kontemporer yang sangat populer-, mempunyai seorang guru yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi , yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, yang dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid, yang mengikuti manhaj pemikiran Wahhabi. Meskipun Syaikh Ibnu Sa’di, termasuk ulama Wahhabi yang ekstrim, ia juga seorang ulama yang mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari manapun kebenaran itu datangnya.

  • Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda Abuya al-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjid al-Haram bersama halqah pengajiannya. Sementara di bagian lain serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk. Sementara orang-orang di Masjidil Haram larut dalam ibadah shalat dan thawaf yang mereka lakukan. Pada saat itu, langit di atas Masjidil Haram penuh dengan mendung yang menggelantung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan yang sangat lebat. Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas Ka’bah mengalirkan airnya dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan mengambil air tersebut, dan kemudian mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka, dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
    Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur kesyirikan dan menyembah selain Allah SWT. Akhirnya para polisi pamong praja itu berkata kepada orang-orang Hijaz yang sedang mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Jangan kalian lakukan wahai orang-orang musyrik. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan syirik.”
    Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun segera berhamburan menuju halqah al-Imam al-Sayyid ‘Alwi al-Maliki al-Hasani dan menanyakan prihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan bahkan mendorong mereka untuk melakukannya. Akhirnya untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi baduwi tersebut. Bahkan mereka berkata kepada para polisi baduwi itu, “Kami tidak akan memperhatikan teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
    Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi baduwi itu pun segera mendatangi halqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil selendangnya dan bangkit menghampiri halqah Sayyid ‘Alwi dan duduk di sebelahnya. Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua ulama besar itu. Dengan penuh sopan dan tatakrama layaknya seorang ulama, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di Ka’bah itu ada berkahnya?”
    Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar. Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
    Syaikh Ibnu Sa’di berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
    Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah SWT berfirman dalam Kitab-Nya tentang air hujan:
    وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
    “Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50:9).
    Allah SWT juga berfirman mengenai Ka’bah:
    إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبَارَكًا
    “Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3:96).
    Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada Baitullah ini.”
    Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana kami bisa lalai dari kedua ayat ini.” Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan meminta izin untuk meninggalkan halqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan orang dan mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang yang seperti Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju saluran air di Ka’bah itu, lalu ambillah air di situ di depan para polisi baduwi itu, sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.” Akhirnya mendengar saran Sayyidn ‘Alwi tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya. Melihat tingkah laku Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi baduwi itu pun pergi meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu. Semoga Allah SWT merahmati Sayyidina al-Imam ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki al-Hasani. Amin.
    Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat (kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu. Bisa pula dilihat dalam http://www.azahera.net/showthread.php?t=2408

Aswaja: Dari Mazhab Menuju Manhaj

Aswaja: Sebuah Penelusuran Historis

Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) adalah satu di antara banyak aliran dan sekte yang bermuculan dalam tubuh Islam. Di antara semua aliran, kiranya aswajalah yang punya banyak pengikut, bahkan paling banyak di antara semua sekte. Hingga dapat dikatakan, Aswaja memegang peran sentral dalam perkembangan pemikiran keislaman.

Aswaja tidak muncul dari ruang hampa. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses kelahirannya dari rahim sejarah. Di antaranya yang cukup populer adalah tingginya suhu konstelasi politik yang terjadi pada masa pasca Nabi wafat.

Kematian Utsman bin Affan, khalifah ke-3, menyulut berbagai reaksi. Utamanya, karena ia terbunuh, tidak dalam peperangan. Hal ini memantik semangat banyak kalangan untuk menuntut Imam Ali KW, pengganti Utsman untuk bertanggung jawab. Terlebih, sang pembunuh, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Ali, tidak segera mendapat hukuman setimpal.

Muawiyah bin Abu Sofyan, Aisyah, dan Abdulah bin Thalhah, serta Amr bin Ash adalah beberapa di antara sekian banyak sahabat yang getol menuntut Ali KW. Bahkan, semuanya harus menghadapi Ali dalam sejumlah peperangan yang kesemuanya dimenangkan pihak Ali KW.

Dan yang paling mengejutkan, adalah strategi Amr bin Ash dalam perang Shiffin di tepi sungai Eufrat, akhir tahun 39 H, dengan mengangkat mushaf di atas tombak. Tindakan ini dilakukan setelah pasukan Amr dan Muawiyah terdesak. Tujuannya, hendak mengembalikan segala perselisihan kepada hukum Allah. Dan Ali setuju, meski banyak pengikutnya yang tidak puas.

Akhirnya, tahkim (arbritase) di Daumatul Jandal, sebuah desa di tepi Laut Merah beberapa puluh km utara Makkah, menjadi akar perpecahan pendukung Ali menjadi Khawarij dan Syi’ah. Kian lengkaplah perseteruan yang terjadi antara kelompok Ali, kelompok Khawarij, kelompok Muawiyah, dan sisa-sisa pengikut Aisyah dan Abdullah ibn Thalhah.

Ternyata, perseteruan politik ini membawa efek yang cukup besar dalam ajaran Islam. Hal ini terjadi tatkala banyak kalangan menunggangi teks-teks untuk kepentingan politis. Celakanya, kepentingan ini begitu jelas terbaca oleh publik. Terlebih masa Yazid b Muawiyah.

Yazid, waktu itu, mencoreng muka dinasti Umaiyah. Dengan sengaja, ia memerintahkan pembantaian Husein bin Ali beserta 70-an anggota keluarganya di Karbala, dekat kota Kufah, Iraq. Parahnya lagi, kepala Husein dipenggal dan diarak menuju Damaskus, pusat pemerintahan dinasti Umaiyah.

Bagaimanapun juga, Husein adalah cucu Nabi yang dicintai umat Islam. Karenanya, kemarahan umat tak terbendung. Kekecewaan ini begitu menggejala dan mengancam stabilitas Dinasti.

Akhirnya, dinasti Umaiyah merestui hadirnya paham Jabariyah. Ajaran Jabariyah menyatakan bahwa manusia tidak punya kekuasaan sama sekali. Manusia tunduk pada takdir yang telah digariskan Tuhan, tanpa bisa merubah. Opini ini ditujukan untuk menyatakan bahwa pembantaian itu memang telah digariskan Tuhan tanpa bisa dicegah oleh siapapun jua.

Nah, beberapa kalangan yang menolak opini itu akhirnya membentuk second opinion (opini rivalis) dengan mengelompokkan diri ke sekte Qadariyah. Jelasnya, paham ini menjadi anti tesis bagi paham Jabariyah. Qadariyah menyatakan bahwa manusia punya free will (kemampuan) untuk melakukan segalanya. Dan Tuhan hanya menjadi penonton dan hakim di akhirat kelak. Karenanya, pembantaian itu adalah murni kesalahan manusia yang karenanya harus dipertanggungjawabkan, di dunia dan akhirat.

Nah, melihat sedemikian kacaunya bahasan teologi dan politik, ada kalangan umat Islam yang enggan dan jenuh dengan semuanya. Mereka ini tidak sendiri, karena ternyata, mayoritas umat Islam mengalami hal yang sama. Karena tidak mau terlarut dalam perdebatan yang tak berkesudahan, mereka menarik diri dari perdebatan. Mereka memasrahkan semua urusan dan perilaku manusia pada Tuhan di akhirat kelak. Mereka menamakan diri Murji’ah.

Lambat laun, kelompok ini mendapatkan sambutan yang luar biasa. Terebih karena pandangannya yang apriori terhadap dunia politik. Karenanya, pihak kerajaan membiarkan ajaran semacam ini, hingga akhirnya menjadi sedemikian besar. Di antara para sahabat yang turut dalam kelompok ini adalah Abu Hurayrah, Abu Bakrah, Abdullah Ibn Umar, dan sebagainya. Mereka adalah sahabat yang punya banyak pengaruh di daerahnya masing-masing.

Pada tataran selanjutnya, dapatlah dikatakan bahwa Murjiah adalah cikal bakal Sunni (proto sunni). Karena banyaknya umat islam yang juga merasakan hal senada, maka mereka mulai mengelompokkan diri ke dalam suatu kelompok tersendiri.

Lantas, melihat parahnya polarisasi yang ada di kalangan umat islam, akhirnya ulama mempopulerkan beberapa hadits yang mendorong umat Islam untuk bersatu. Tercatat ada 3 hadits (dua diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan satu oleh Imam Tabrani). Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam dalam 73 golongan. Semua golongan umat islam itu masuk neraka kecuali satu. “Siapa mereka itu, Rasul?” tanya sahabat. “Mâ ana Alaihi wa Ashâby,” jawab Rasul. Bahkan dalam hadist riwayat Thabrani, secara eksplisit dinyatakan bahwa golongan itu adalah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ungkapan Nabi itu lantas menjadi aksioma umum. Sejak saat itulah kata aswaja atau Sunni menjadi sedemikian populer di kalangan umat Islam. Bila sudah demikian, bisa dipastikan, tak akan ada penganut Aswaja yang berani mempersoalkan sebutan, serta hadits yang digunakan justifikasi, kendati banyak terdapat kerancuan di dalamnya. Karena jika diperhatikan lebih lanjut, hadits itu bertentangan dengan beberapa ayat tentang kemanusiaan Muhammad, bukan peramal.

Lantas, sekarang mari kita dudukkan aswaja dalam sebuah tempat yang nyaman. Lalu mari kita pandang ia dari berbagai sudut. Dan di antara sekian sudut pandang, satu di antaranya, yakni aswaja sebagai mazhab (doktrin-ideologi), diakui dan dianggap benar oleh publik. Sementara, ada satu pandangan yang kiranya bisa digunakan untuk memandang aswaja secara lebih jernih, yakni memahami aswaja sebagai manhaj. Mari kita diskusikan.

Aswaja sebagai Mazhab

Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte, ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy’ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al Asy’ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4 mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho’if) dan atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja. Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam memahami agama.

Lebih lanjut, adanya klaim keselamatan (salvation claim) yang begitu kuat (karena didukung oleh tiga hadits) membuat orang takut untuk memunculkan hal baru dalam beragama meski itu amat dibutuhkan demi menjawab perkembangan jaman. Akhirnya, lama-kelamaan, aswaja menjadi lapuk termakan usia dan banyak ditinggal jaman.

Benarkah aswaja bakal ditinggalkan oleh jaman?. Nyatanya, hingga kini, Aswaja justru dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia. Mengapa hal ini terjadi, bila memang aswaja telah mengalami stagnasi?

Jawabannya satu: aswaja adalah doktrin. Seperti yang dicantumkan di muka, ini menyebabkan orang hanya menerimanya secara apriori (begitu saja dan apa adanya). Inilah yang dinamakan taqlid. Karena itu, stagnasi tetap saja terjadi. Akan tetapi, karena sudah dianggap (paling) benar, maka, bila doktrin itu berbenturan dengan “kenyataan” (al-Waqâ’i’) —yang terus berkembang dan kadang tidak klop dengan ajaran—, maka yang keliru adalah kenyataannya. Realitalah yang harus menyesuaikan diri dengan teks.

Pemahaman semacam itu pada akhirnya, menyebabkan pemaksaan ajaran aswaja dalam realita untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hal ini menyebabkan peran aswaja tidak efektif dalam problem solving. Aswaja hanya akan menjadi duri dalam daging masyarakat yang amat membahayakan. Akibat lain yang biasa muncul, lebih banyak masalah yang timbul dari pada persoalan yang terpecahkan. Karenanya, taqlid buta seyogyanya diindari.

Akan tetapi, bagi masyarakat umum yang tingkat pemahamannya beragam, taqlid semacam ini menjadi jalan keluar alternatif dalam menghadapi persoalan dengan tetap berpegang pada Islam aswaja. Tetapi, pantaskah taqlid dilakukan oleh kalangan intelektual? Kiranya, kita bisa menjawabnya.

Tentu kita tidak mau Islam dengan aswajanya tidak bisa menyelesaikan problematika umat. Karenanya, harus ada keberanian untuk mengadakan gerakan baru, memberantas kejumudan. Ini adalah tugas mulia yang harus kita —utamanya kader PMII— tunaikan, demi menyelamatkan ajaran aswaja dari kejumudan, serta menyelamatkan masyarakat dari berbagai persoalan yang terus mengemuka.

Aswaja sebagai Manhaj

Nah, berbagai problem yang dihadapi ideologi aswaja, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti aswaja, aswaja tidak diposisikan sebagai teks (baca: korpus) yang haram disentuh.

Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami aswaja. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya. Hal ini bisa dilihat dari tiga nilai dasar aswaja; yakni tawazun, tawasuth, dan i’tidal.

Diketahui, nilai-nilai itu nyatanya amat fleksibel dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi, bahkan tempat apapun. Selain itu, dalam aplikasinya, tiga nilai itu menuntut kerja intelektual agar bisa diterapkan dengan baik. Operasi jenis ini biasa disebut dengan ittiba’, yang tentunya lebih manusiawi dan memanusiakan.

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Pun, aswaja bisa tampil dengan gaya yang enak dan diterima umum sebagai sebuah jalan keluar. Selain itu, Sunni yang mayoritas, bisa melakukan tugasnya menjaga stabilitas sosial keagamaan.

Nah, untuk sampai pada sisi ini, perlu ada keberanian dalam menempuh jalan yang berliku. Harus ada kerja keras untuk mencari lebih jauh tentang ajaran, tata norma, dan metode ijtihad aswaja yang humanis, egaliter, dan pluralis.

Hal ini juga bisa menampik beberapa organ Islam ekstrem yang secara eksplisit mengaku sebagai kaum Ahlussunnah wal Jamaah, meski suka mengkafirkan yang lain, menebar ketidaktenteraman di kalangan umat lain, serta tidak rukun dengan jamaah yang lain.

Namun, satu tantangan yang juga harus diperhatikan adalah kita sebagai mahasiswa —kader ASWAJA— yang punya kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih baik, harus berani mengambil satu tindakan: ijtihad. Dan bila tidak berani sendiri, tak ada salahnya ijtihad berjamaah

Hand-out untuk materi keaswajaan di MAPABA Rayon Syariah Komisariat Walisongo 2007 di PP Al Fatah, Demak.

Perayaan Maulud Membawa Kaum Muslimin Memenangkan Perang Salib

SHALAHUDDIN AL-AYYUBI
Lelaki itu memandang ufuk senja di Aleppo, 1183 M. Kilau redup pedang panglima perang ini seakan mengabarkan padanya bahwa kaum Muslimin tengah mengalami kelesuan setelah hampir seabad berperang tanpa tahu kapan akan berakhir. Yerusalem masih dal…am kekuasaan pasukan Salib. Ia mendengar cerita dari para leluhurnya bahwa, semasa Perang Salib I, dalam waktu 2 hari 2 malam, 40.000 kaum Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak, di Yerusalem tewas dibantai oleh pasukan Salib dengan bantuan para Ksatria Templar. Kini perang telah memasuki fase ke III. Namun pasukan Muslimin sedang letih. Apa yang mesti dilakukannya sebagai panglima perang tertinggi untuk membangkitkan semangat juang kaum Muslim yang sudah menguasai Mesir, Turki, Syiria dan kawasan Mesopotamia? Kekhalifahan telah berhasil ia satukan; ia merasa kini saatnya merebut kembali Yerusalem, salah satu tanah suci kaum Muslimin, yg sedang berada cengkeraman pasukan Salib. Ia tertunduk, merenungkan kembali kisah peperangan yang dilakukan junjungan kaum Muslimin, Muhammad Rasulullaah SAW, mengingat kembali perang-perang dahsyat pada zaman beliau: Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk…. dan ia ingat pada kecintaan para sahabat yang tanpa memikirkan diri dan keluarganya, maju ke medan laga mendampingi nabi demi membela Dinul Islam yang diancam eksistensinya oleh kaum kafir Quraisy. Tafakurnya membuatnya sadar: ya, Kecintaan pada Rasulullah itulah yang menyebabkan para sahabat rela mengorbankan segalanya. Cinta mereka kepada Rasulullah telah mengakar begitu dalam hingga ke bagian terdalam dari jiwa dan ruh mereka. Salahuddin al-Ayyubi, kini menegakkan kepala, telah mengambil keputusan penting yang akan memengaruhi sejarah peradaban Islam hingga saat ini … Atas persetujuan Khalifah an-Nashir, maka pada bulan Haji 579 H (1183), Shalahudiin, sebagai penguasa Haramayn, mengeluarkan perintah kepada seluruh jamaah haji, agar saat mereka pulang ke kampung halaman, mereka harus mensosialisasikan instruksi agar mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat juang dan kecintaan umat Islam kepada Rasulullah SAW. Salah satu agenda yg dilakukan adalah mengundang seluruh ulama dan sastrawan untuk festival menyusun syair dan pujian kepada Rasulullaah — dan salah satu pemenangnya adalah Syair karya Ja’far al-Barzanji yg tersohor itu. Hampir setahun lamanya kaum muslimin mendengarkan syair-syair indah yang mengisahkan perjalaanan hidup Rasulullah: mulai dari kelahirannya, akhlaknya, perjuangannya, mukjizat2nya dan lain sebagainya. Karena syair-syair itu disusun dari orang-orang yang hatinya dipenuhi oleh Cinta kepada Rasulullaah, efeknya sungguh luar biasa: barokah Rasulullah seolah-olah mengalir melalui syair-syair semacam Barzanji itu. Para pemuda Muslim sadar kembali betapa junjungan mereka adalah pahlawan sejati yang tangguh di segala bidang kehidupan, tangguh dan cakap mulai dari soal urusan rumah tangga, dakwah, akhlak, hingga ke medan perang. maka, ribuan pemuda Muslimin mendaftar menjadi tentara Shalahuddin al-Ayyubi. Sejak itu wilayah kekuasaan Shalahuddin semakin luas. Pada 1187, setelah dirasa cukup kuat, Shalahuddin memimpin langsung pasukannya untuk membebaskan Palestina. Benteng Yerusalem dikepung oleh puluhan ribu tentara dengan persenjataan yang canggih untuk ukuran zamannya. Sementara itu, penguasa Nasrani di Yerusalem tengah terlibat friksi dan intrik internal yang melemahkan posisi mereka. perang dahsyat terjadi. Pasukan Salib terdesak. Kaum Nasrani di Yerusalem dilanda ketakutan hebat, takut kalau-kalau Shalahuddin membalaskan dendam atas pembantaian 40.000 kaum Muslimin pada masa penaklukan Yerusalem oleh pasukan Salib pada Perang Salib I. Maka Panglima Yerusalem keluar menemui Shalahudiin untuk merundingkan gencatan senjata. Shalahuddin menawarkan agar kaum Nasrani menyerah dan keluar dari Yerusalem, dan mereka semuanya tanpa kecuali akan dijamin keselamatannya oleh Shalahudiin. Panglima Salib kaget, dan ia pun bertanya: “Mengapa” “Karena aku adalah Shalahudiin,” jawab Sang Panglima Muslim sambil tersenyum… sebuah jawaban yang penuh makna bagi mereka yang punya mata hati…. Demikianlah, seluruh kaum Nasrani dan Yahudi keluar dari Yerusalem dengan aman, dan Shalahudiin masuk ke Yerusalem. Ia membersihkan kota, memperbaiki bangunan-bangunan dan masjid-masjid. Salahuddin sama sekali tidak meluluhlantakkan bangunan ibadah nasrani dan Yahudi, bahkan ia memerintahkan bangunan ibadah mereka itu ikut diperbaiki. Konon, saat masuk ke sebuah gereja besar, ia melihat salib jatuh tergeletak di lantai. Shalahuddin memungutnya, dan meletakkan kembali salib itu di atas meja persembahyangan kaum Nasrani… Ya, Shalahudiin benar-benar berjuang demi Islam, bukan demi balas dendam. dan ia berjuang dan berperang tidak sembarangan: ia mengikuti perintah junjungan dan kekasih hatinya, Rasulullah SAW, yang pernah memerintahkan sahabatnya bahwa dalam peperangan diharamkan membunuh orang-orang yang tak terlibat dalam peperangan (penduduk sipil. anak dan wanita), tidak boleh merusak rumah penduduk, bangunan tempat ibadah, bahkan tidak boleh merusak tanaman dan menyakiti hewan. Jatuhnya Yerusalem ke tangan Shalahudiin menggemparkan eropa. Paus Gregory VII memerintahkan penyiapan pasukan perang untuk merebut kembali Yerusalem. Dan kelak, sejarah akan menyaksikan pertempuran yang fair dan elegan antara dua ksatria perang salib yg paling terkenal: Shalahuddin al-Ayyubi melawan King Richard the Lionheart…. Perayaan Maulud Nabi, salah satu warisan Shalahuddin, masih lestari hingga kini. KItab-kitab Maulid dan syair2 pujian semacam Barzanji, Maulid Diba’, Simtud Durror, dan lain sebagainya, telah mengilhami ribuan ulama yg saleh, membangkitkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad ‘adada ma fi ilmillahi shalatan da’imatan bidawami mulkillahi Allahumma shalli ala nuril anwari wa siriil asrari wa tiryawil aghyari wa mifathi babil yasari sayyidina Muhamadinil mukhtari wa alihil athhari wa ashhabihi akhyari adada ni’amillahi wa ifdhalih. Allahumma shalli wa sallim wa barik alaih… , Menjelang Peringatan Kelahiran Rasulullah.
by Triwibs Kanyut Yogya (Rektor SENTHIR Al-Fesbukiyyah)

HUKUM PERINGATAN MAULID NABI SAW

Ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa

kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya

akan meringkas penjelasannya secara ‘Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah

keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan

pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan

kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya

_ Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari

kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)

_ Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya,

dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)

_ Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits

no.4177)

_ Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya

Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia

(ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas

kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw

hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur

juz 6 hal 583)

_ Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)

_ Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat

melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya

menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

_ Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14

buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang

1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini

muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran

Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat

salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw

Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu

adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).

dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw

asal dengan puasa.

Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan

beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw.

Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh

boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi

beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya.

Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat

umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..

bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang

berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1

januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian

pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia

tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak

memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat

ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar

pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1

januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa

boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya

pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw

menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai

tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka

jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau

saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw

Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka

Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka

Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi

saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang,

dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan

dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala

shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran

Nabi saw

Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan

Abbas bertanya padanya : “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab : “di

neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku

Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw” (Shahih Bukhari hadits

no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul

baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh,

namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut

kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira

dengan kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun

mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi

orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas

kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yang meriwayatkan hal itu tentunya

menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam

dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid

Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar

ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yang

lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu

Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dengan

doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata :

“betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram,

sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid,

namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair syair yang membawa pada Ghaflah,

pada keduniawian, namun syair syair yang memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu

diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw

sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan

bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia

berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058,

sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat

yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci

hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz

8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :

Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw

datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10

Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari

ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa

sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak

atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah

yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa

didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca

Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman

Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG

ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al

Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :

Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah

untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832

dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah

diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau

saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah

beliau saw yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada

Allah swt yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan

membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan

tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan

saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan dan yang serupa itu untuk

mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang

sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii

‘amalilmaulid”.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :

Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang

diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan

kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw

dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan

kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam

kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :

Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa

keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam

senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku

atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih

Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yang Alqur’an turun mengatakannya di neraka

mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana

dengan muslim ummat Muhammad saw yang gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka

demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia

akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam

kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :

Serupa dengan ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil

hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah

Berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan

setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan

bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan

pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar”.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah

Dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah

adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah

Dengan karangan maulidnya yang terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang

pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita

gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya

serta merayakannya”.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah

Dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami

berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yang menjadikan hari

kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yang

terkenal dengan Ibn Dihyah alkalbi

Dengan karangan maulidnya yang bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri

Dengan maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir

Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama : ”maulid ibn katsir”

13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy

Dengan maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy

Telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al

lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy

Dengan maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi

Dengan maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy

yang terkenal dengan ibn diba’

Dengan maulidnya addiba’i

18. Imam ibn hajar al haitsami

Dengan maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri

Mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dengan nama tuhfa al basyar ala maulid ibn

hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari’

Dengan maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji

Dengan maulidnya yang terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani

Dengan maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy

Dengan maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy

Dengan maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy

Dengan maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”

27. Syihabuddin Al Halwani

Dengan maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati

Dengan maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy

Dengan maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi

Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini,

mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang maulid

sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya

menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas

meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid

Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari menyambut kedatangan Islam

dan Syariah Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa

risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang

dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika sa’ad bin

Mu’adz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : “Berdirilah untuk

tuan kalian” (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian

pula berdirinya Thalhah ra untuk Ka’b bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang

dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk

majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk

kedatangan Imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan

berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk,

dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa,

sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang,

namun adapula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk

Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal

93)

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca

maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul

saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw

hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah

masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir, semua ucapan diatas

adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul saw pernah

melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yang berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak

terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita

menyambut risalah Nabi saw, dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan

kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita

shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam

Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan

Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji

pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk

Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan

kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan, dan

berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah

menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah,

(berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yang terncantum pada Bab Bid’ah) yaitu

bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan

mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah

mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh

dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya. (Sirah Al

Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk

Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yang

diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul

saw yang sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan

mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan

risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan

ada yang mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara

membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap

muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini

merupakan hal yang mustahab (yang dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa

“Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab

kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

Contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat

hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita

akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus

membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu

dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib .

Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju

hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju

kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh

siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena

diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan

dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan

ummat sudah tak perduli dengan Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang

Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah

dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena

menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta

silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alqur’an yang merupakan hal yang tak perlu dizaman nabi

saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai

banyak yang membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah

banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat,

walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat

radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang

muslimin yang awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yang

masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati

dan kejernihan, amiin.

Walillahittaufiq

Munzir Almunsawa

Kenalilah Akidahmu

Akidah Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya “Al- Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jama’ah sebagi kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”

Secara historis, para imam Aswaja dibidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib RA, karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar”, Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi ‘ala al-Barohimah”.

Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali, Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah

Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara teks-teks Hadits Aswaja adalah:

افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً  كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً قَالُوا : مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدوَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ

“Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: “Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab: “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.

Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.

Ruang Lingkup Aswaja

Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek akidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek akidah. Aspek ini krusial karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah  dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari. Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat akidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H – 321 H) di Mesir, akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama  menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.

Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-‘Aql ‘ala al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.

Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi dan al-Thahawi.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.

Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awza’i, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu al-Nash ‘ala al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).

Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok dan madzhab dalam Islam.

Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama meyakini al-Qur’an dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.

Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks sunnah.

Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendiri-sendiri. Mu’tazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan Mu’tazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT, memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi kelompok Asy’ariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut, kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih “menengah” dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql atau nash.

Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan akidah, maka peran akal dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ‘ala al-naql. Maka paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mu’tazilah, meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses, bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal. Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali salah daya tangkapnya.