FENOMENA PENCITRAAN RELIGIUS TERSANGKA KORUPSI DITINJAU DARI PSIKOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang masih berbenah membangun kembali negerinya di tengah keterpurukan dan dinamika globalisasi. Permasalahan yang mendera bangsa ini semenjak merdeka seakan negeri ini belum 100% merdeka, kemiskinan dan kesejahteraan yang masih belum merata masih menjadi momok, kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar. Hal ini diperparah dengan bobroknya birokrasi dan pemerintahan dengan masih maraknya virus korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.

Korupsi menjadi musuh utama yang dilawan di negeri ini jika mau berbenah menuju pemerintahan yang lebih baik dan transparan mewujudkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Seperti yang dikatakan tokoh Peter Drucker bahwa sesungguhnya tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara yang salah kelola, tepat bila merefleksikan apa yang terjadi di Indonesia. Salah kelola negeri ini dengan adanya korupsi, dimana pemimpin yang harusnya mengelola sumber daya negeri ini untuk memajukan kesejahteraan umum, malah mengkorup kekuasannya memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya akhirnya kepentingan masyarakat yang terlukai

Korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Sedangkan korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.

Karena parahnya perilaku korupsi yang sering disebut sebagai kejahatan yang luar biasa karena sulit diberantas dan melibatkan komponen atas atau orang penting dalam sebuah negeri. Bahkan di Indonesia, negeri kita menempati peringkat ke 100 negara dari 183 negara dalam indeks persepsi korupsi (CPI), Indonesia menempati skor CPI sebesar 3,0, naik 0,2 dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,8, di kawasan Asia Tenggara, skor Indonesia berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4), dimana semakin rendah nilai semakin besar persepsi korupsinya.

Karena menjamurnya perilaku korupsi di Indonesia ini, sejak lama telah digaungkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk sebagai badan khusus yang menangani penyidikan dan pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Begitu pula dengan adanya pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang melakukan upaya pengadilan hukum bagi pelaku tindakan korupsi.

Terlepas dari efektif tidaknya kinerja KPK maupun elemen penegak hukum lain dalam memberantas korupsi dan mengadili perilaku korupsi. Selama ini telah berhasil ditangkap banyak pelaku korupsi di pemerintahan baik pejabat publik dari mantan menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, Pejabat daerah, hingga PNS golongan rendah, pun tak lepas dari tangkapan penegak hukum jika terdapat indikasi kegiatannya merugikan negara dan berujung korupsi. Sebagai contoh pada tahun 2011 saja dari data kepolisian ada 1.323 perkara yang ditangani, melonjak daripada tahun 2010 yang hanya 585 perkara (Republika).

Kita juga dapat menandai ingatan kita dengan beberapa kasus korupsi yang mengisi ruang publik dengan pemberitaan media yang besar-besaran. Kasus korupsi pegawai pajak Gayus Tambunan yang merugikan negara sekurangnya 25 miliar. Kasus M. Nazaruddin, mantan bendahara umum Partai Demokrat yang turut juga menyeret istrinya Neneng Sri Wahyuni, mantan Puteri Indonesia yang menjadi Anggota DPR Anggelina Sondakh, hingga ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Menariknya ada fenomena unik yang diperlihatkan tersangka kasus korupsi yang ditangkap. Seperti yang terlihat akhir-akhir ini maupun di masa sebelumnya. Tersangka kasus korupsi banyak yang memperlihatkan atau menampilkan citra agamisnya baik dengan simbol-simbol agama ataupun ritualnya ketika dia tampil di depan publik baik saat wawancara ataupun saat di persidangan, padahal sebelumnya bisa jadi orang itu tidak selalu menggunakan simbol-simbol agama itu.

Fenomena ini bisa kita lihat contohnya pada saat kasus Nunun Nurbaiti yang baru saja tertangkap mengenakan penutup kepala seperti jilbab, begitu juga terdakwa Dharnawati yang bahkan mengenakan jilbab beserta cadar hitam ketat yang menutupi seluruh bagian tubuhnya serta mukanya kecuali mata. Begitu juga baru-baru ini istri M. Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni yang ketika tertangkap dan tampil di muka publik mengenakan jilbab sekaligus ditambah cadar penutup mulut untuk menutupi wajahnya. Tidak hanya monopoli simbol satu agama saja, contoh lain tersangka korupsi Miranda Goeltom yang ketika ditetapkan sebagai tersangka sempat langsung meminta penangguhan penahanan untuk mengikuti kebaktian.

Perilaku yang dicitrakan para tersangka tersebut dengan menggunakan simbol keagamaan bisa dibilang cukup kontras dengan tindakan korupsi yang bisa digolongkan sebagai tindakan yang memakan hak orang lain dalam hal ini melanggar norma agama yang ada.

Dalam perspektif agama Islam korupsi dapat digolongkan sebagai ghulul yaitu tindakan orang yang diberi amanah jabatan tapi mengambil keuntungan yang tidak seharusnya dari jabatan tersebut. Seperti dalam hadits: dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulul, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi).” (HR. Abu Daud). Serta dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”

Begitu pula dalam perspektif Alkitab dalam agama Kristen, dalam kisah Yudas Iskariot yang menerima 30 keping uang perak untuk harga seorang Mesias. Yudas yang dikenal sebagai salah-satu murid Yesus yang memegang uang-kas pelayanan Yesus bersama murid-muridNya.  Alkitab dengan jelas menulis bahwa ia adalah seorang pencuri. Dalam Yohanes 12:6 : ….. karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya. (Sitorus, 2009)

Itulah beberapa contoh bukti dalam perspektif agama, korupsi tidak mendapatkan tempat dan merupakan pelanggaran bagi norma agama (baca: dosa). Hal-hal tersebut tentunya juga akan dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran berbagai agama lain, yang secara universal jelas bertentangan dengan tindakan korupsi.

Tampilnya tersangka kasus korupsi di ruang publik dengan simbol-simbol agama menjadi pertanyaan apakah yang ditampilkan tersangka-tersangka tersebut merupakan pengejawentahan diri secara ikhlas dari tersangka bahwa dirinya memang religius, atau hanya sebagai pencitraan untuk menjaga citra diri bahwa dia tidak bersalah atau suci secara religius.

Rumusan Masalah yang diajukan dari latar belakang tersebut adalah: Bagaimana bentuk pencitraan religius yang ditampilkan tersangka kasus korupsi di Indonesia?; Mengapa tersangka kasus korupsi di Indonesia melakukan pencitraan religius ketika tampil diruang publik?

 

BAB II

DESKRIPSI GEJALA

Masalah yang ada pada latar belakang di atas juga dicerminkan dengan gejala-gejala yang bisa dilihat pada berita-berita kasus korupsi di Indonesia baik lewat media cetak, media elektronik, maupun media internet.

Untuk mendeskripsikan gejala atau kenampakan yang ada kita akan melihat dari kasus per kasus atau melihat dari tiap tersangka. Bagaimana ketika mereka menggunakan simbol agama ketika berada di ruang publik, dan jika memungkinkan juga bagaimana aspek keagamaan mereka sebelum terkena kasus korupsi.

  1. Gayus Tambunan

Gayus Halomoan Partahanan Tambunan sebelumnya merupakan PNS di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. (Wikipedia)

Gayus ketika sidang dengan baju koko

Sikap Religius yang ditampilkan Gayus ketika menghadapi kasus korupsinya adalah ketika Gayus menggunakan baju koko putih, merupakan simbol pakaian muslim. Pada saat membacakan nota pembelaan diri Kamis (19/1/2012) di persidangannya. (Detik.com)

 

 

 

 

2. Dharnawati

Merupakan Terdakwa kasus suap pencairan dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah (DPPID) kawasan transmigrasi. Dharnawati telah divonis pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan, dan diwajibkan membayar denda sebesar Rp 100 juta subsidair.

Saat di persidangan Dharnawati begitu mencolok karena selalu menggunakan jilbab panjang, berjubah hitam, dan menggunakan cadar sehingga hanya matanya saja yang terlihat. Simbol jubah dan cadar ini merupakan simbol keagamaan konservatif dari wanita Islam di timur tengah walaupun jarang diterapkan wanita di Indonesia.

ketika reka ulang dengan cadar

 

3. Nunun merupakan istri dari Adang Daradjatun, mantan wakapolri dan anggota DPR dari PKS, dia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus cek pelawat sebanyak 480 lembar senilai Rp 24 miliar ke sejumlah politikus Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Tujuannya agar mereka memenangkan Miranda Swaray Goeltom sebagai pemenang Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004. Sebelumnya Nunun sempat buron beberapa tahun di luar negeri.Nunun Nurbaeti

Nunun sebelum terkena kasus korupsi

  1. Melinda Dee

Dalam ranah korupsi di sektor swasta muncul nama Inong Melinda Dee yang menjadi Terdakwa penggelap dana nasabah bekas pegawai Citibank. Dia telah divonis penjara delapan tahun dan denda Rp10 miliar subsider tiga bulan penjara.(Antara)

Perilaku religius yang kontras bisa dilihat dengan jelas pada Melinda, sebelum menjadi tersangka dia kerap tampil dalam busana seksi dan ketat, serta bergaya hidup mewah. Setelah ditetapkan menjadi tersangka kerudung selalu menemaninya ketika dia tampil di depan publik baik saat konferensi pers maupun sidang, meskipun tetap dalam baju yang ketat dan kerudung dengan poni. Kerudung tetap menjadi simbol bagi perempuan muslim.

Saat jadi tersangka dan sidang

Melinda sebelum jadi tersangka

  1. Miranda S. Goeltom

Miranda ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan ikut serta atau menyarankan Nunun Nurbaeti menyuap anggota DPR 1999-2004 terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkannya setelah Nunun divonis dua tahun enam bulan penjara dalam kasus ini. (Kompas)

Perilaku Religusnya setelah ditetapkan sebagai tersangka adalah ketika dia meminta izin untuk diperbolehkan mengadakan ibadah di rutan KPK (Tempo). Begitu pula ketika di dalam sel Pada hari-hari pertamanya di rutan, Miranda, menurut petugas, terlihat sering membaca kitab suci dari selnya. (Kompas)

  1. Neneng Sri Wahyuni

Neneng Sri Wahyuni merupakan istri dari M. Nazaruddin tersangka kasus korupsi yang sempat buron dimana Neneng ikut menjadi buron bahkan lebih lama dari suaminya.

Perilaku religius Neneng terlihat saat dia ditangkap yaitu menggunakan jilbab besar dan menggunakan cadar untuk menutup mukanya.

Dari fakta-fakta kasus yang dijelaskan di atas gejala perilaku yang ditampilkan oleh tersangka-tersangka korupsi adalah menggunakan simbol-simbol keagamaan saat mereka berada di ruang publik baik dengan alasan menjaga citra karena kesalahan/pelanggaran mereka maupun untuk menutupi muka mereka, dapat juga karena untuk bertaubat dan mendekatkan diri kepada Tuhan atas keadaan yang mereka hadapi.

Untuk menganalisis fenomena ini maka kita perlu melakukan analisis pada kondisi psikologis apa yang melatarbelakangi perilaku pencitraan religius oleh tersangka korupsi?; Bagaimana dinamika rasa bersalah atas pelanggaran yang dialami tersangka korupsi?; Bagaimana pencitraan religius ini menjadi solusi bagi tersangka korupsi?

BAB III

ANALISIS GEJALA

Untuk menganalisis gejala dan fakta yang ada tentang perilaku pencitraan religius tersangka kasus korupsi di Indonesia, kita dapat membedahnya dengan mendasarkan pada beberapa tema dan teori psikologi.

  1. Emosi Bersalah

Dalam hal ini pertama kita perlu melihat konsep kondisi psikologi yang melatarbelakangi munculnya perilaku ini, dalam hal ini kita akan melihat tentang rasa bersalah. Dijelaskan dalam Pitaloka (2007), perasaan bersalah merupakan salah satu bentuk emosi, emosi dipandang sebagai penyesuaian secara sosial, berhubungan dengan individu, dan karenanya memiliki ciri-ciri ekspresif (Plutchik,1980). Selain itu, Rivera (1984) yang menyatakan bahwa emosi berkembang sebagai hasil fungsi adaptasi dalam hubungan antar manusia. Dalam pandangannya, seluruh emosi terkait dengan penyesuaian hubungan ini, antara diri dan orang lain, di mana setiap emosi berguna untuk memaksimalkan nilai dari hubungan tersebut.

Rasa bersalah dipahami sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif yang berhubungan dengan suatu standar moral. Konsep Mosher (1961,1966,1968) yang berdasar pada teori pembelajaran sosial (social learning theory), mendefinisikan rasa bersalah sebagai ekspektasi general pada media hukuman diri terhadap pelanggaran (atau antisipasi pelanggaran) yang terinternalisasi dari standar moral perilaku. Lebih lanjut menurut Mosher, rasa bersalah berkaitan dengan pelanggaran moral secara luas, namun mungkin hanya pada saat perilaku-perilaku tersebut membahayakan status suatu hubungan seseorang.

  1. Defense Mechanism

Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau mekanisme bertahan. Seperti kita ketahui Freud sebagai bapak psikoanalisa memiliki konsep id, ego, dan super ego. Id adalah Aspek biologis dan merupakan sistem original, Id berisi hal-hal yang dibawa sejak lahir (unsur-unsur biologis), libido seksualitas, termasuk juga instink-instink organisme. Ego adalah aspek psikologis karena adanya kebutuhan sinkronisasi (gateway) antara kebutuhan Id dengan realitas dunia eksternal. Prinsip Ego adalah realitas dunia obyektif. Sedangkan Superego merupakan aspek sosiologis berupa nilai-nilai tradisional sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya berupa perintah-larangan, ganjaran-hukuman, baik-buruk. Prinsip Super Ego adalah internalisasi norma-norma lingkungan yang berupaya untuk menekan dorongan Id. (Alwisol,2010)

Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).

Seseorang akan bertahan dengan cara memblokir seluruh dorongan-dorongan atau dengan menciutkan dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima konsepsi dan tidak terlalu mengancam. Cara ini disebut mekanisme pertahanan diri atau mekanisme pertahanan ego/Ego Defense Mechanism (Alwisol, 2010).

Ada beberapa bentuk defense mechanism yang diutarakan Freud diantaranya (dalam Alwisol, 2010):

  1. Identification: Cara mereduksi tegangan dengan meniru (mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya.
  2. Displacements: Manakala obyek kateksis asli yang dipilih oleh insting tidak dapat dicapai karena ada rintangan dari luar (sosial,alami) atau dari dalam (antikateksis), insting itu direpres kembali keketidaksadaran atau ego menawarkan kateksis baru, yang berarti pemindahan seperti enerji dari obyek satu ke obyek yang lain, sampai ditemukan obyek yang dapat mereduksi tegangan.
  3. Repression: Represi adalah proses ego memakai kekuatan anticathexes untuk menekan segala sesuatu (ide, insting, ingatan, pikiran) yang dapat menimbulkan kecemasan keluar dari kesadaran.
  4. Fixation & Regression: Fiksasi adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan selanjutnya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat.
  5. Reaction Formation: Tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran.
  6. Projection : Projeksi adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik/moral menjadi kecemasan realistik, dengan cara melemparkan impuls-impuls internal yang mengancam dipindahkan ke obyek diluar, sehingga seolah-olah ancaman itu terprojeksi dari obyek eksternal kepada diri orang itu sendiri.

Analisis

Untuk menganalisis kita mendasarkan pada teori-teori di atas. Namun, kita juga tidak bisa hanya mengasumsikan perilaku religius yang ditunjukkan tersangka itu merupakan sebuah pencitraan, kita juga harus tetap membuka kemungkinan yang dilakukan sebuah proses pertaubatan dari perilaku melanggar norma agama sehingga kembali ingin menguatkan kembali nilai-nilai agama yang terinternalisasi dalam dirinya.

Dalam kacamata emosi malu dan bersalah, perilaku relijius tersangka korupsi dapat merupakan manifestasi dari emosi bersalah yang dimiliki tersangka, emosi ini berkembang dalam hubungan sosialnya dalam manusia dan masyarakat terkait dengan norma-norma yang ada. Dimana tersangka korupsi mendapat penilaian masyarakat sebagai pelanggar norma.

Rasa bersalah dalam tersangka korupsi muncul sebagai kesadaran kognitif dan perasaan negatif karena sebuah standar norma agama maupun hukum yang dianggap dilanggar olehnya. Rasa ini muncul sebagai media hukuman diri terhadap pelanggaran yang dia lakukan yang bertentangan dengan standar norma agama. Yaitu perilaku korupsi yang jelas menurut norma agama maupun masyarakat merupakan pelanggaran.

Bagi pelaku korupsi yang telah terkuasai id sehingga melakukan tindakan korupsi, dunia superego yang sudah terinternalisasi dan juga tekanan penghakiman superego dengan tampil di depan publik menimbulkan Perasaan terjepit dan terancam yang disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan (Alwisol, 2010).

Rasa bersalah yang muncul setelah tersangka muncul di ruang publik dapat mendorong tersangka korupsi untuk berusaha memperbaiki citra dirinya di mata publik, maupun di mata agama dengan menguatkan nilai-nilai agama yang telah terinternalisasi di dalam dirinya. Bagaimana jalannya mekanisme pencitraan secara psikologis bukan murni karena alasan nilai agama yang dilakukan terdakwa dapat dilihat dengan teori psikoanalisa di bawah.

Perilaku korupsi dengan konsep ini bisa dijelaskan sebagai dorongan id untuk memuaskan keinginannya dalam hal ini korupsi. Superego berupa norma agama dan hukum merupakan pencegah terjadinya perilaku korupsi.  Energi Id akan meningkat karena rangsangan (impuls) sehingga menimbulkan ketegangan atau pengalaman yang tidak enak dan menguasai Ego agar bertindak secara kongkrit dalam memenuhi rangsangan tersebut sesegera mungkin. Di sisi lain Super ego berusaha untuk menetang dan menguasai Ego agar tidak memenuhi Hasrat dari Id karena tidak sesuai dengan konsepsi Ideal.

Selanjutnya bagaimana perilaku pencitraan religius ini menjadi solusi saat tersangka korupsi menghadapi masalahnya akan kita lihat melalui kacamata psikoanalisa, khususnya konsep defense mechanism, atau mekanisme bertahan reaction formation, ketika tindakan defensif ego dilakukan dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran. Hal ini dapat kita sadari bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan norma agama (dosa) inilah yang menciptakan kecemasan bagi tersangka karena terjadi ancaman moral yang datang dari dunia superego (norma agama dan masyarakat), maka untuk mengurangi tekanan itu tersangka korupsi melakukan defense mechanism dengan mengganti impuls berdosa yang menimbulkan kecemasan itu dengan perilaku sebaliknya yaitu saleh dan beragama yang ditunjukkan dengan simbol-simbol keagamaan, sikap, perkataan, ritual, dan lain sebagainya.

Selain itu rasa malu yang diakibatkan emosi bersalah tadi kemungkinan juga yang menyebabkan tersangka memilih menggunakan simbol agama (Islam) berupa jilbab yang disertai dengan cadar atau penutup muka. Hal ini bisa dipahamai bahwa menutup muka merupakan respon yang alami pada seseorang yang merasa malu.

BAB IV

PENUTUP

Dari analisis yang dilakukan pada fenomena perilaku pencitraan religius tersangka korupsi di Indonesia, kesimpulan yang dapat diambil adalah perilaku tersebut merupakan manifestasi dari perasaan bersalah maupun rasa kecemasan dan ketidaknyamanan atas perilaku korupsi yang dituduhkan dilakukan olehnya.

Tekanan rasa bersalah itu yang dalam teori psikoanalisa bisa datang dari dorongan id dari perilaku korupsi yang tertekan oleh superego dari norma agama yang terinternalisasi dan tekanan opini publik. Sehingga ego yang menjaga keseimbangan perlu melakukan mekanisme pertahanan diri dari situasi yang tidak nyaman bagi diri individu.

Singkatnya defense mechanism yang muncul berupa reaction formation, yaitu ketika tindakan defensif ego dilakukan dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawan/kebalikannya dalam kesadaran. Dengan tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan norma agama (dosa) inilah yang menciptakan kecemasan bagi tersangka karena terjadi ancaman moral yang datang dari dunia superego (norma agama dan masyarakat), maka untuk mengurangi tekanan itu tersangka korupsi melakukan defense mechanism dengan mengganti impuls berdosa yang menimbulkan kecemasan itu dengan perilaku sebaliknya yaitu saleh dan beragama yang ditunjukkan dengan simbol-simbol keagamaan. Karena itu citra perilaku religius sering ditampilkan tersangka kasus korupsi.

Namun, kita tidak menutup mata pula pada asumsi bahwa perilaku yang dilakukan tersangka bisa jadi merupakan murni sebuah tindakan pengakuan bersalah tersangka untuk kembali pada nilai-nilai agama setelah dia melanggar norma yang ada atau dalam bahasa keagamaan bertaubat. Walaupun secara psikologis hal itu tetap dapat dijelaskan seperti hal di atas. Karena itu pendalaman secara empiris kepada tersangka menjadi saran yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan penelitian di masa yang mendatang untuk mendalami sebab yang lebih empirik tentang apa yang sebenarnya dilakukan tersangka dengan usulan judul penelitian lebih lanjut: Dinamika Psikologis Tersangka Kasus Korupsi dalam Fenomena Pencitraan Religius.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2010. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Antara.2012. Delapan Tahun Penjara Bagi Malinda Dee. Sumber: http://www.antaranews.com/berita/300236/delapan-tahun-penjara-bagi-malinda-dee diakses pada 19/6/2012

Detiknews.com.2012. Berbaju Koko, Gayus Bacakan Pembelaan Diri. Sumber: http://news.detik.com/read/2012/01/19/111020/1819667/10/berbaju-koko-gayus-bacakan-pembelaan-diri?nd992203605 diakses 19/6/2012

Hanafi, Irfan. 2010. Korupsi dan Pengertiannya. Surakarta: Soloraya. Sumber: http://soloraya.net/korupsi-dan-pengertiannya.html diakses: 19/6/2012

Kompas.2011.Indonesia Peringkat 100 Indeks Persepsi Korupsi. Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2011/12/01/17515759 diakses pada 19/6/2012

Kompas.2012.Hikmat Allah untuk Miranda Goeltom. Sumber http://nasional.kompas.com/read/2012/06/10/14033849/Hikmat.Allah.untuk.Miranda.Goeltom. diakses pada 19/6/2012

Pitaloka, Ardiningtyas.2007.Rasa Bersalah dan Rasa Malu.E-Psikologi. Sumber: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=325 diakses pad 19/6/2012

Rahmawati, Yulia. 2011. Istilah Korupsi dalam Islam. Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam/ diakses pada 19/6/2012

Sitorus, Fernando.2009.Korupsi Menurut Sudut Pandang Kristiani. Sumber: http://bungfernando.blogspot.com/2009/02/korupsi-menurut-sudut-pandang-kristiani.html diakses pada 19/6/2012

Wikipedia.2012.Gayus Tambunan. Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2011/04/15/istilah-korupsi-dalam-islam/ diakses pada 19/6/2012

Tinggalkan komentar