Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan Kaum Tertindas

Realitas Pendidikan di Indonesia & Penindasan

Keadaan banyak masyarakat di negeri kita masih berada pada masa kehidupan yang sulit, begitu pula kita sebagai bangsa meski sudah enam dekade kita merdeka. Pendidikan yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa pun dalam banyak bentuk hanya menjadi wahana transfer of knowledge belaka, dan seperti kata Freire membelenggu, karena pendidikan disetting hanya untuk memenuhi aspek kepentingan pasar, sehingga gagal menghadapi dinamika perubahan sosial yang ada dan senantiasa dipecundangi oleh kepentingan penguasa pasar.

Pada situasi inilah kita benar-benar membutuhkan pendidikan yang mampu memerdekakan dengan idealisme dan semangat juang untuk tidak mau menjadi pecundang agar dapat menularkan paradigma itu pada siswanya, penerus negeri ini di masa depan dengan pembelajaran yang dia berikan agar negeri ini tidak lagi menjadi pecundang.

Sejatinya, pendidikan adalah pembebasan pembebasan dari belenggu kemiskinan,  penindasan, dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna pendidikan adalah fondasi dan simbol kekuatan benteng fondasi bangunan bangsa.

Karena itu, Pendidikan yang membebaskan harus dapat membongkar penindasan yang terjadi karena sistem pendidikan yang malah mendehumanisasi manusia. Proses pendidikan kita saat ini dalam kaca mata freirean secara tidak sadar menindas dan membelenggu karena pendidikan kita makin jauh dari realitas atau ani realitas. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset.

Realitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang tidak dijadikan bahan pijakan untuk menentukan sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah sekarang lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang tercantum dalam konstitusi bangsa

. Fungsi sekolah yang sejatinya mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai “korban penindasan”.

Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal. (http://www.kawanusa.co.id/news-detail.php?id=27)

 

Pendidikan Gaya Bank

Menurut Paolo Freire, mengungkapkan bahwa proses pendidikan – dalam hal ini hubungan guru-murid – di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai “celengan” dan guru sebagai “penabung”. Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan “gaya bank” tersebut:

  1. Guru mengajar, murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
  4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
  5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
  6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
  7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya.
  8. Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
  9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
  10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

(Najip, 2003)

 

Sistem Pendidikan

Proses pendidikan baik formal maupun nonformal pada dasarnya memiliki peran penting untuk melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Namun juga sebaliknya, dapat merupakan proses perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih adil. Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya. Dalam Fakih (2001), dijelaskan paradigma tersebut:

  1. Paradigma Konservatif

Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil dihindari (takdir), bahwa memang ada masalah di masyarakat, Tetapi bagi mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Karena itu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi. Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam sebagai hal yang ideal dalam pendidikan.

  1. Paradigma Liberal

Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi kosmetik. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar dari cita-cita Barat tentang individualisme. Karenanya pendidikan yang berorientasi mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan mengejar prestasi individual. Sehingga yang terjadi adalah persaingan individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif.

  1. Paradigma Kritis

Paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Implikasi Pada Tingkat Kesadaran

Implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan dapat dilihat dari analisis Freire (1970) yang membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Proses dehumanisasi terbangun dalam kesadaran yang dibangun manusia  sendiri:

  1. Kesadaran Magis

Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengkaitkan antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar kesadaran manusia sebagai penyebab dari segala kejadian. Hasil dari paradigma konservatif.

  1. Kesadaran Naif

Yaitu jenis kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi penyebab dari akar permasalahan. Hasil dari paradigma liberal.

  1. Kesadaran Kritis

Yaitu jenis kesadaran yang melihat realitas sebagai satu kesatuan yang kompleks dan saling terkait satu sama lain. Hasil dari paradigma kritis.

(Sulaiman, 2010)

 

Pendidikan Hadap Masalah untuk Transformasi Sosial

Bagi penganut mazhab Freirean, hakekat pendidikan yang membebaskan dapat dicapai dengan dengan membangkitkan kesadaran kritis. Visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil, selalu menjadi agenda pendidikan. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Dalam mentransformasikan gagasan tersebut menjadi metode praksis pembelajaran, khususnya secara pedagogis. Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (konsientisasi) atas realitas timpang yyang sedang terjadi di lingkungannya dalam hal ini disebiut pendidikan hadap masalah sebagai antitesis pendidikan gaya bank.

Pada pendidikan gaya bank, murid bisa menjadi objek yang ditentukan oleh guru, sehingga realitas menjadi jauh. Bagi Freire, guru dan murid sama-sama subjek sadar dari sebuah pendidikan, dan realitas adalah objeknya, guru hendaknya menjadi seorang fasilitator, motivator, teman, dan transformator dalam proses bersama murid secara dialogis menemukan kesadaran atas realitas dan masalah yang sebenarnya dihadapi tidak hanya menghafal materi yang sudah diciptakan, tapi memahami. Atas kesadaran bersama atas ketimpangan dan realitas itulah guru dan murid, dapat menjadi bagian dari sebuah transformasi sosial di lingkungannya.

 

Pemikiran & Praksis Pendidikan Kaum Tertindas di Indonesia

Semangat pendidikan yang membebaskan kaum tertindas tentunya memang diperlukan di negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana ketimpangan sosial ekonomi dan pendidikan masih sangat tinggi, namun tentunya akan ada penyesuaian bagaimana konsep tersebut akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, pemikiran mengenai pendidikan yang membebaskan juga telah jauh dikumandangakn banyak pemikir-pemikir Indonesia yang melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pada masa perjuangan kemerdekaan, seperti pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara & Tan Malaka, pada masa kekinian pun dimana ketimpangan masih terjadi pendidikan-pendidikan alternatif juga bermunculan untuk membebaskan pendidikan dari belenggu penindasa.

  1. 1.      Ki Hajar Dewantara & Perguruan Taman Siswa

Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.

Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.

Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya.

Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik.

Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

 

  1. 2.      Tan Malaka & Sarekat Islam School

Sarekat Islam (SI) School didirikan Tan Malaka pada tahun 92. Berdirinya SI School pada masa menentang kolonial Belanda memiliki maksud memberikan pendidikan alternatif atas pendidikan Belanda di negeri ini atas dasar politik etis yang tidak sesuai realitas dan menindas. Landasan pemikiran Tan Malaka adalah: Kekuasaan Kaum Modal Berdiri atas didikan yang berdasar kemodalan dan Kekuasaan Rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan. Tujuan Sekolah ini seperti tercantum dalam buku Tan Malaka SI Semarang dan Onderwijs (1921):

  1. Memberi senjata cukup, buat pencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb).
  2. Memberi Haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup, dengan jalan pergaulan (verenniging)/organisasi.
  3. Menunjukan kewajiban kelak, terhadap pada berjuta-juta Kaum Kromo. Bahwa, murid-murid kita kelak jangan hendaknya lupa pada berjuta-juta Kaum Kromo, yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan. Bukanlah seperti pemuda-pemuda yang keluar dari sekolah-sekolah biasa (Gouvernement) campur lupa dan menghina bangsa sendiri.

Metode yang digunakan:

  1. Di sekolah anak-anak SI mendirikan dan menguruskan sendiri pelbagai-bagai vereeniging, yang berguna buat lahir dan batin (kekuatan badan dan otak). Dalam urusan vereeniging-vereeniging tadi anak-anak itu sudah belajar membikin kerukunan dan tegasnya sudah mengerti dan merasa lezat pergaulan hidup.
  2. Di sekolah diceritakan nasibnya Kaum Melarat di Hindia dan dunia lain, dan juga sebab-sebab yang mendatangkan kemelaratan itu. Selainnya dari pada itu kita membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu, dan berhubung dengan hal ini, kita menunjukkan akan kewajiban kelak, kalau ia balik, ialah akan membela berjuta-juta kaum Proletar.
  3. Dalam vergadering SI dan Buruh, maka murid-murid yang sudah bisa mengerti, diajak menyaksikan dengan mata sendiri suaranya kaum Kromo, dan diajak mengeluarkan pikiran atau perasaan yang sepadan dengan usianya (umur), pendeknya diajak berpidato.
  4. Sehingga, kalau ia kelak menjadi besar, maka perhubungan pelajaran sekolah SI dengan ikhtiar hendak membela Rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasannya masing-masing.

Singkatnya, Dalam praktek pendidikan di SI School, Tan Malaka mempraktekkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup “sebenarnya”, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa lingkungan pendidikan yang sosial. Tan Malaka menolak adanya praktik diktator dari guru yang melarang murid untuk mengikuti kegiatan keorganisasian. Cara ini dilakukan agar murid mampu mengembangkan potensi dan menemukan kepercayaan dirinya.

 

  1. 3.      Romo Mangun & SD Mangunan

Sekolah Dasar Mangunan didirikan pada 1994 untuk menerapkan ide-ide mendiang Romo Mangunwijaya. Sekolah ini menampung anak-anak jalanan, gelandangan, dan anak petani atau buruh. Mereka dididik dengan metode pendidikan modern yang lebih interaktif dan jauh dari indoktrinasi dengan mengadopsi muatan-muatan lokal.

SD Mangunan tidak banyak membebani murid-muridnya. Siswa hanya ditarik uang bulanan sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 tanpa ada biaya lain. Itu pun hanya sebagai bentuk partisipasi agar orang tua dan siswa merasa memiliki sekolah tersebut.

Pemikiran Pendidikan Romo Mangun menegaskan pendidikan harus mampu mengasah daya eksplorasi, kreativitas, dan nalar integral anak. Ketiga kata itu;

  1. kata pertama, eksploratif. Kira-kira maksudnya membuat peserta didik senang mencari dan meneliti. Kaum periferi secara ekonomi sulit untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, oleh karena itu sejak usia muda mereka sudah harus dilatih untuk selalu mengasah rasa ingin tahu supaya dengan modal pendidikan dasar yang mereka miliki, rasa ingin tahunya bisa menuntun membantu mereka untuk,
  2. kata kedua, kreatif. Latih mereka menjadi manusia-manusia yang pintar mencipta. Kemampuan berkreasi mereka akan sangat membantu nantinya begitu “bersentuhan” langsung dengan kehidupan. Karena dengan jiwa kreator, sesorang akan tidak-akan pernah kehabisan ide untuk mencipta. Bagi anak yang lemah secara ekonomi jiwa kreator akan menjadi “modal” buat masa depannya, sedangkan bagi anak yang berbakat dan mampu secara ekonomi, jiwa kreator ini dimanfaatkan untuk kemajuan diri dan masyarakat.
  3. Kata ketiga, integral. Yang berkembang bukan hanya kemampuan kognitif intelektualitas perserta didik, tapi juga tidak boleh lupa untuk mengembangkan bakat-bakat lain seperti seni, olahraga, bahasa, budi pekerti, moral, citarasa, religiusitas, kesosialan, politik, dll.

(Batubara, 2003)

 

4. SMP Alternatif Qaryah Thayyibah

Sekolah Laernaif ini merupakan komunitas belajar yang awalnya didirikan oleh Serikat Petani Qaryah Thayyibah (SPQT) di Kalibening, Salatiga. Awalnya sekolah ini menjadi tempat belajar bagi anak petani di desa itu yang kekurangn biaya untuk sekolah. Metode yang digunakan sekolah alternatif ini bisa dibilang menakjubkan.

Hasil penelitian Susanto (2008) ini menunjukkan bahwa penerapan metode dialogis versi Paulo Freire dalam pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah terbagi menjadi 6 bagian, antara lain

(1) Perencanaan pembelajaran atau kurikulum yang digunakan SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak berbeda dengan SLTP lain, karena sama-sama menggunakan kurikulum nasional (paket B). Kurikulum Paket B di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah hanya dijadikan referensi dengan menekankannya pada model pendidikan alternatif yaitu: penekanan pemilihan persoalan yang bebas, penentuan kegiatan pembelajaran bersama, pemberian ijin kepada setiap individu menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar, dan setiap siswa memiliki kebebasan dalam menentukan sifat maupun isi apa yang dipelajarinya sendiri. Disini siswa mencari arti pengetahuan lewat dialog dengan fasilitator maupun dengan kawan-kawannya.

(2) Penentuan materi pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dilakukan bersama-sama antara guru dan siswa diawal semester melalui dialog yang menjadi salah satu unsur yang sangat fundamental dalam pendidikan, sedangkan pokok bahasannya ditentukan sendiri oleh setiap siswa.

(3) Metode pembelajaran SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah menerapkan metode pendidikan hadap masalah, kegiatan pembelajaran selalu dimulai dengan dialog mengemukakan persoalan kepada siswa. Siswa dihadapkan langsung oleh guru pada masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar, sehingga siswa harus memberikan solusi dari masalah tersebut. (4) Kegiatan evaluasi pembelajaran di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah bersumber pada diri siswa sendiri. Evaluasi murni dilihat dari hasil karya siswa, sedangkan sistem raportnya dibuat sendiri oleh siswa yang berisi pernyataan siswa tentang apa yang sudah dipelajari selama satu semester dan hasil karya yang dihasilkan selama satu semester. Hasil karya dan pernyataan siswa tersebut kemudian didiskusikan didepan guru dan teman-teman sekelasnya. (5) Interaksi antara guru dengan siswa di SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah berjalan dengan sangat harmonis. Semua guru di sekolah ini menempatkan dirinya sebagai sahabat, teman diskusi sekaligus fasilitator bagi siswa, sedangkan siswa menempatkan diri sebagai subyek yang harus aktif dalam proses pembelajarannya.

(6) Interaksi antara SLTP Alternatif Qaryah Thayyibah dengan orang tua siswa dan masyarakat sekitar terjalin dalam suasana persahabatan. SLTP ini menggunakan kaidah lokalitas, dimana guru, siswa dan pengelola sekolah paham, mengetahui serta menyatu dengan persoalan sosial dimana pendidikan ini berada.

 

Kesimpulan

  1. Pendidikan yang membebaskan adalah pembebasan dari belenggu kemiskinan,  penindasan, dan kebodohan sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak pendidikan adalah upaya pengenalan diri mengenal potensi diri, jalan hidup, dan tujuan hidup untuk melayani dan mengabdikan diri bagi kehidupan supaya kehadirannya di dunia ini mempunyai makna bagi transformasi masyarakatnya.
  2. Memahami pendidikan yang membebaskan harus dengan memahami realitas penindasan struktural yang terjadi melalui belenggu sistem pendidikan yang tidak adil.
  3. Pendidikan memiliki beberapa paradigma, paradigma konservatif dan liberal cenderung membelenggu dan mempertahankan proses penindasan yang terjadi, maka pendidikan secara kritis yang melihat hubungan struktural yang menyebabkan permasalahn sosial menjadi landasan pendidikan yang membebaskan.
  4. Semangat pendidikan yang membebaskan telah sejak lama hadir di negeri ini melalui para tokoh-tokoh pemikir bangsa yang berjuang memerdekakan bangsa Indonesia melalui pendidikan.
  5. Pendidikan yang membebaskan tentunya dalam penerapannya di negeri ini, berangkat dan menyesuaikan dengan nilai-nilai negeri ini.

Daftar Pustaka

Susanto, Arif. (2008). Penerapan metode dialogis versi Paulo Freire dalam pembelajaran (Studi kasus pada SLTP alternatif Qaryah Thayyibah Desa Kalibening Kotamadya Salatiga Jawa Tengah). Malang: Digilib UNM. Sumber: http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/penerapan-metode-dialogis-versi-paulo-freire-dalam-pembelajaran-studi-kasus-pada-sltp-alternatif-qaryah-thayyibah-desa-kalibening-kotamadya-salatiga-jawa-tengah-arif-susanto-35480.html

Batubara, Bosman. (2003). PENDIDIKAN KITA: Sebuah Diagnosa Terhadap Romo Mangun, dan Romo Mangun Sebagai Sebuah Diagnosa Terhadap “busuk-busuk” Pendidikan Nusantara. LSM Insan: bahan diskusi. Sumber: http://pmiisleman.or.id/pendidikan-kita-sebuah-diagnosa-terhadap-romo-mangun-dan-romo-mangun-sebagai-sebuah-diagnosa-terhadap-%E2%80%9Cbusuk-busuk%E2%80%9D-pendidikan-nusantara/#_edn13

Malaka, Ibrahim Sutan. (1921). SI Semarang dan Onderwijs. Marxist.org. Sumber: http://marxists.org/indonesia/archive/malaka/1921-SISemarang.htm

Sujatmoko, Ivan. (2011). Sejarah Taman Siswa. Sumber: http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/sejarah-taman-siswa.html

Berita: Liputan6. (2005). SD Mangunan, Sekolah Rakyat Miskin. Sumber: http://news.liputan6.com/read/105799/sd-mangunan-sekolah-rakyat-miskin

Sulaiman, Syuaib. (2010). Paradigma Pendidikan dalam Persepektif Pendidikan Islam. Polewali Mandar: Data Studi. Sumber: http://datastudi.wordpress.com/2010/12/07/paradigma-pendidikan-dalam-perspektif-pendidikan-islam/

Najip, Ahmad. (2003). Nilai Pedagogis Paulo Freire Dan Masa Depan Pendidikan. Sumber: http://digoel.wordpress.com/2008/01/03/nilai-pedagogis-paulo-freire-dan-masa-depan-pendidikan/

Fakih, Mansour., dkk., (2001) Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis.  ReaD Books: Yogyakarta

Satu Tanggapan

  1. tulisan ini sangat menginspirasi untuk perbaikan pendidikan khususnya para guru

Tinggalkan komentar