Peran PMII Dalam Menjawab Tantangan Kebudayaan Indonesia

Oleh: Anas Apriyadi

Dalam pengertiannya kebudayaan bisa didefinisikan sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Indonesia tentunya memiliki kebudayaan yang sangat khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Kebudayaan Indonesia terbentuk dengan sangat unik. Kepulauan Indonesia yang terbentang luas menghasilkan bermacam-macam kebudayaan yang berbeda-beda. Ditambah lagi dengan persentuhannya budaya lokal dengan budaya dari luar seperti kebudayaan yang dibawa Hindhu-Buddha, Islam, maupun kolonial barat (meskipun budaya barat lebih banyak mudharat daripada manfaatnya). Persentuhan dan akulturasi budaya itu bersinergi dengan apik dalam tiap masa dan akhirnya membentuk kebudayaan masyarakat Indonesia saat ini.

Dalam perjalanannya saya melihat ada beberapa tantangan yang dihadapi kebudayaan Indonesia di masa kini. Tantangan ini terjadi dari dua sisi, dari dalam dan dari luar. Dari dalam misalnya, bermacam-macam kebudayaan yang berbeda dari tiap daerah, etnis, maupun agama yang ada di Indonesia bisa menimbulkan disintegrasi kebudayaan jika tidak ada rasa pluralisme dan saling menghormati. Dari luar, tentu saja kita tahu bahwa gencarnya arus globalisasi termasuk globalisasi kebudayaan membuat banyak penetrasi kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia baik melalui TV, film, gadget, dan sebagainya yang dapat membawa pengaruh buruk bagi kebudayaan kita.

Sebagai mahasiswa kita harusnya mempunyai peranan penting dan posisi strategis untuk bisa menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi kebudayaan Indonesia ini. Dengan kapasitas intelektualnya mahasiswa memiliki tingkat kesadaran sosial yang relatif lebih tinggi dalam masyarakat sehingga harus mampu memilah-milah baik-buruknya kebudayaan yang masuk, maupun mengusahakan konsensus dan saling memahami antar kebudayaan Indonesia yang berbeda-beda, dalam hal ini saya menganggap mahasiswa bisa menjadi motor penggerak untuk menjawab tantangan kebudayaan itu dalam masyarakat. Namun, kecenderungan mahasiswa sekarang pada umumnya malah menjadi motor penggerak bagi tantangan-tantangan kebudayaan itu. Kapasitas intelektual dan kemampuan memperoleh informasi dan budaya dari dunia luar malah membuat mahasiswa cenderung latah dengan budaya luar yang masuk dan menganggap kebudayaan luar yang lebih modern dan glamor lebih cocok dengan kapasitas intelektual mereka dan menganggap kebudayaan bangsa sendiri sudah kuno dan tak cocok bagi mereka. Bila terhadap kebudayaan sendiri saja perhatiannya sudah kurang bagaimana bisa menjawab tantangan selanjutnya untuk mengatasi disintegrasi budaya Indonesia.

Melihat keadaan seperti itu gerakan mahasiswa mempunyai peran penting sebagai bagian dari sekelumit mahasiswa yang peduli pada masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat dan bangsa ini. Dalam hal ini saya tekankan pada organ gerakan mahasiswa dimana kita berada yaitu PMII. PMII punya peluang untuk dapat berperan menjadi motor untuk menjawab tantangan-tantangan kebudayaan Indonesia. Secara manhaj PMII yang menganut ahlus sunnah wal jamaah (aswaja) yang juga merupakan ciri khas masyarakat Indonesia khususnya Islam di Indonesia sebagai metode pergerakan dalam bersikap termasuk dalam hal kebudayaan. Dalam hal ini empat nilai aswaja yaitu tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan ta’adul (adil) harus diterapkan dalam menjawab tantangan ini. Secara historis pun PMII juga mewarisi ajaran aswaja yang diajarkan oleh wali songo dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara, dan kita tahu bagaimana para wali menyebarkan Islam di Nusantara tidak lain adalah dengan akulturasi budaya, antara budaya Islam (luar) dan budaya lokal. Tidak lupa juga secara historis PMII lahir dari NU yang konsen akan kebudayaan Indonesia dengan Lesbumi-nya yang kala itu mampu menjadi benteng kebudayaan lokal dari berbagai ideologi luar dan disintegrasi kebudayaan. Dengan kenyataan di atas secara genetis PMII memang seharusnya mampu berperan lebih dalam menghadapi tantangan-tantangan kebudayaan Indonesia.

Dalam menjalankan perannya itu keempat nilai aswaja bisa menjawab tantangan kebudayaan, dengan mengembangkan sikap moderat, toleran, seimbang, dan adil dalam menyikapi tiap masalah kebudayaan baik dari dalam berupa disintegrasi kebudayaan, maupun dari luar berupa penetrasi kebudayaan asing. Selain itu prinsip al-muhafazatu ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah atau menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik menjadi prinsip yang tepat sebagai landasan melestarikan kebudayaan kita agar tetap bertahan dan mengembangkan dengan kebudayaan baru yang lebih baik nantinya tanpa meninggalkan kebudayaan asli kita.

Tidak sekedar itu, perlu ada langkah nyata didasarkan atas karakteristik yang dimiliki PMII di atas untuk merealisasikan peran dalam menawab tantangan kebudayaan. Sebagai gerakan mahasiswa yang bisa dilakukan PMII seperti mewacanakan pemikiran tentang kebudayaan, saya pernah membaca dulu PMII Gadjah Mada pada masa jayanya pernah menerbitkan buletin Seloka yang memfokuskan wacana seni dan budaya. Saya rasa dengan mewacanakan seni dan budaya dapat mengilhami mahasiswa dan masyarakat untuk lebih peduli pada budaya Indonesia. PMII perlu juga mengagendakan advokasi kebudayaan pada masyarakat maupun pemerintah, sebagai gerakan mahasiswa penting bagi PMII untuk mengawal berbagai kebijakan pemerintah dalam hal kebudayaan apakah baik atau tidak bagi kebudayaan kita. Menggalakkan pemahaman kebudayaan kepada masyarakat juga harus dilakukan sebagai bentuk advokasi kebudayaan pada masyarakat. Hal yang paling penting adalah dari diri kita sebagai individu dalam pergerakan, kita juga harus lebih peduli pada kebudayaan Indonesia. mari berkaca pada diri kita, sudahkah kita berperan melestarikan dan mengembangkan kebudayaan kita sendiri? Sekecil apapun peran kita amat bermakna bagi kebudayaan kita yang sedang mengalami banyak tantangan. Dengan aktif berperan untuk turut menjawab tantangan kebudayaan Indonesia mulai dari diri kita sendiri untuk selanjutnya terakumulasi dalam organ gerakan mahasiswa yang memainkan peran dalam masyarakat maka perlahan tantangan kebudayaan Indonesia akan terjawab.

Ditulis sebagai syarat mengikuti Pelatihan Kader Dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Gadjah Mada 2010

Sekilas Profil Gerakan-Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia

Mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan di negeri ini. Dan  mahasiswa melalui gerakan-gerakan mahasiswa. telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan. Gerakan mahasiswa walaupun sering berbeda-beda ideologinya namun tetap menjalankan fungsinya untuk terus bersikap kritis dan menyuarakan perubahan ke arah yan lebih baik.

Berbagai macam gerakan mahasiswa tumbuh di negeri ini termasuk gerakan mahasiswa dari mahasiswa muslim. Adalah satu bukti sejarah bahwa pergerakan mahasiswa muslim tidak bisa dipandang remeh dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Bahkan, dapat dikatakan mahasiswa muslim menjadi energi yang konsisten dalam tribulasi pergerakan mahasiswa di Indonesia. Dari waktu ke waktu, dalam berbagai wadahnya, gerakan mahasiswa muslim menjadi pagar betis yang berdiri dibarisan terdepan dalam mengawal perubahan demi perubahan.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia terdapat beberapa organisasi mahasiswa ekstra kampus yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo

HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Dalam perjalanan awalnya HMI menjadi underbow dari parpol Masyumi saat itu.

Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”

2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU. Dalam kenyataannya kini hubungan PMII dan NU lebih berupa hubungan interdependen yana masih relatif terkait secara ideologis, emosional dan kultural walaupun tidak secara struktural. PMII menjadikan aswaja (ahlus sunnah wal jama’ah) sebagai manhaj (metode) berpikir dan pegerakannya. Ada 4 prinsip aswaja yang jadi landasan gerak  PMII yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan ta’addul (adil).

Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.

3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.

Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.

Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat[8].


4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru yang mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986.

Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.

HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.


5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

KAMMI lahir para ahad tanggal 29 April 1998 bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang. KAMMI awal kali muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis aktivis dakwah kampus pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam pergerakannya KAMMI banyak berpedoman dan dijiwai nilai-nilai pergerakan Ikhwanul Muslimin dari Hasan Albana.

Ada beberapa alasan mengapa KAMMI harus lahir. Pertama, adanya indikasi upaya rezim pemerintah mematikan potensi bangsa sehingga mendorong segera didengungkannya tuntutan reformasi. Kedua, suara umat Islam mulai terabaikan, sehingga penting untuk segera berbuat. Ketiga, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia. Keempat, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.

Dalam perjuangan reformasi tahun 98, bersama elemen pergerakan mahasiswa lainnya KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Rezim Suharto dengan segala macam kebobrokannya, akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998.

Namun menurut KAMMI, paska keruntuhan Suharto proses reformasi di Indonesia belumlah usai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan aksi menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.

Sejarah PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Latar belakang pembentukan PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama’ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.

Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu

Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU

Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:

  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi

Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII

Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.

Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.

Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.

Makna Filosofis

Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.

Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.

“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).

Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

sumber: wikipedia

Hubungan Agama dan Kesenian

Dalam konteks hubungan agama dan kesenian, kalangan pesantren selalu saja terbelah. Misalnya jika ada pameran lukisan, kelompok pertama dengan segera akan menyergap, tak ada gunanya, bahkan tindakan itu dianggap telah bersekutu dengan setan karena melanggar batas syar’i. Terkait jawaban ini, mereka biasanya lalu menyodorkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di hari Kiamat adalah perupa.” Karena perupa (pelukis, pemahat dan pematung) dianggap “menyaingi” Allah, dengan “menciptakan” makhluk.

Ditulis juga dalam hadis tersebut, kelak perupa itu akan dimintai pertanggung-jawaban untuk memberi nyawa; jika tidak sanggup, mereka akan disiksa. Dalam riwayat Muslim yang lain, diterangkan Sayyidah Aisyah mendapatkan hadiah kain yang ada gambarnya (lukisan) dari pembesar Dinasti Romawi, lalu ia membentangkan kain itu di rumahnya, Nabi yang mengetahui itu kemudian bersabda: “Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung.” Demikianlah sederet dalil yang biasa digunakan untuk mengharamkan gambar dan patung.

Sementara kelompok yang kedua yang mendukung; punya alasan bahwa berkesenian adalah sifat intuitif alamiah seorang manusia. Dan islam hampir di segala bidanga menyerukan pemeluknya untuk selalu berkreasi (mencipta). Alasan yang berasal dari dalil shahih, misalnya bisa ditemukan dalam hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: “Bahwa Allah itu indah dan mencintai keindahan“.

Kenapa umat Islam terpecah dalam dua kelompok seperti itu? Sejarawan muslim ulung  Khalil Abdul Karim dalam bukunya “Al-Judzurut Tarikhiyyah li Syari’atil Islamiyah”  berkesimpulan, karena ada dua kecenderungan pada umat Islam, yang pertama melihat hukum (nash) secara tekstual an-sich, dan yang kedua melihatnya secara tekstual dan kontekstual. Terkait dengan hadis di atas, ia berpendapat dalam ranah sejarah Islam awal (asbabul nuzul), itu terkait dengan paganisme, yaitu patung saat itu menjadi pujaan (Tuhan). Sementara Islam datang hendak menegakkan ajaran tauhid dan menghancurkan segala bentuk kemusyrikan itu. Patung yang dikenal oleh bangsa Arab ketika Islam lahir di Hijaz tidak bertujuan untuk seni, tapi sebagai tuhan dan sesembahan.

Karena itu, Menurut Ahmad Amin dalam karyanya, “Fajrul Islâm” (Fajar Islam) tentu tak layak jika menilai hasil seni (lukisan) yang bertujuan kesenian itu dalam koridor hukum fikih, misalnya haram dan tidaknya, salah dan benarnya, akan tetapi seharusnya indah atau tidaknya.

Pertemuan Islam dan Kebudayaan

Seperti penjelasan di atas, Islam dan kesenian seringkali digambarkan sebagai dunia yang berbeda, sulit dipertemukan. Agama berisi aturan dan norma moral, sementara kesenian mengeksplorasi kreatifitas dan kebebasan. Di banyak tempat ketegangan antar dua kelompok ini kadang tak terelakkan. Tapi dalam kenyataannya, apa yang pernah dicapai Islam dalam mewujudkan peradaban dunia, kaum seniman dan ulama bisa berdialog dan bersandingan. Misalnya yang terjadi pada pembangunan Masjid Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ Al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat as-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem merupakan sebagian contoh di Arab.

Peradaban Islam itu mencapai puncaknya (golden age) pada masa Dinasti Umayyah di Damaskus (Siria) dan Dinasti Abbasiah di Baghdad (Irak). Islam tidak sekedar bersinggungan dengan seni rupa, sastra, teater, musik, dan arsitektur yang luar biasa indahnya, tapi juga turut mewarnai nafasnya. Sementara pengaruh islam pada kebudayaan kita, itu misalnya bisa kita temukan pada arsitektur Menara Kudus, Jawa Tengah, yang merupakan percampuran simbol Islam dan Hindu. Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat pula tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Masih banyak contoh lain yang serupa dalam sepanjang zaman di berbagai negara.

Dari sederat sejarah itu bukankah sudah cukup sebagai saksi, bahwa hubungan antara islam dan kebudayaan tak bisa dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan. Karena terbukti, hadirnya agama bisa mewarnai nafas kebudayaan, dan hadirnya kebudayaan bisa memperkaya seperangkat hukum dan seluk beluk agama. Kalau begitu bukankah sudah seharusnya keduanya terus bisa diupayakan berdialog dan bersandingan. Kerena sejatinya seni itu punya kehendak untuk memperjuangkan martabat kemanusiaan. Dan itu sama halnya dengan agama, ia berangkat dari pemaknaan bahwa sesungguhnya ajaran (agama) juga bertujuan memuliakan manusia.

Pesantren dan Kesenian

Di negeri ini, kita bisa menemukan hubungan yang sangat harmonis antara Islam dan kesenian itu ada pada pesantren. Kenapa demikan? Karena watak pesantren selalu apresiatif terhadap kebudayaan lokal. Karena watak pesantren yang demikian ini, kehadirannya bisa diterima di khalayak luas. Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyatan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan oleh para wali. Nikii Keddie (1987), pengamat agama Islam asal Timur Tengah itu berpendapat watak dan ciri khas inilah yang menjadi pembeda dengan Islam-Arab dan tentu saja kebangggan Islam sebagai peradaban di Asia Tenggara. (Islam and Society in Minangkabau and in the Middle East: Coparative Reflections, dalam Sojourn, Volume 2, No. 1 Tahun 1987)

Dan sampai sekarang pesantren masih mempertahankan watak aslinya; yaitu ia memiliki tradisi unik dan unggul yang tidak ditemukan di negara lain. Salah satu keunikan tersebut adalah tradisinya dalam mengembangkan warisan keilmuan ulama salaf (salafus shalih). Misalnya dengan pola pengajaran sorogan, blandongan dan hafalan nadzaman berupa puisi liris arab. Selain itu yang menjadi ciri khasnya adalah seperangkat busananya, seperti memakai sarung, peci, baju koko dan lain sebagainya, yang semua itu asli dari warisan pribumi (bukan Arab). Tak heran jika Abdurrahman Wahid  berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur.

Hasil dari persinggungan itu, tak mengherankan jika para “santri”banyak menghasilkan karya-karya berkelas dunia dengan nilai seni yang luar biasa indahnya, seperti beberapa nama yang dapat disebut di antaranya adalah KH Ma’shum Ali dengan al-Amtsilatut Tashrifiyah, KH Hasyim Asy’ari dengan Syair-Syair Ahlul Bait, KH Bisri Mustofa dengan Al-Ibriz, KH Abdul Hamid dengan Nadzam Sulam Taufiq dan lain sebagainya. Karya tersebut menjadi referensi penting dalam setiap kajian maupun pengajian dilingkungan pesantren.

Karena itu, tak syak, Islam sebagai agama dan pesantren sebagai alat dakwahnya terbukti mampu tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam.

Oleh Aguk Irawan MN *Penulis adalah Anggota Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia) PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta
nu.or.id

ULIL DENGAN LIBERALISMENYA (Oleh: Abdurrahman Wahid)

Ulil Abshar Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”, istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara hidupnya masih bersifat santri. Tetapi dua hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu ia bukan lulusan pesantren, dan profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya kedua hal itulah yang akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap “abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga meruntuhkan asas-asas keyakinanya sendiri akan “kebenaran” Islam. Padahal hal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri setiap orang beragama tersebut. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap hal ini.

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan “Assalamu’alaikum” dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya, sehingga KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang bersholat. Penulis, demikian kata Kyai yang dahulu kondang itu, menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan selamat pagi dan selamat sore. Padahal penulis tahu definisi shalat adalah sesuatu yang dimulai dengan “Takbiratul Al-Ihram” dan di sudahi dengan ucapan “Salam”. Jadi, menurut paham Mazhab Al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan. Baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non muslim. Di lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para Syaikh/ Kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenalan ” tersebut, umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi yang cerah” (Shabah Al-Nur). Kurangnya pengetahuan Kyai kita itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang adalah akibat dari kekurangan pengetahuan itu.

*****

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar Abdalla adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci Al-Qur’an: “Dan tak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan ” (Wallau yabqo illa Wajhah), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti Muslim, akan terkena Sabda Nabi Muhammad SAW: “Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir” (Man kaffarahu akhahu musliman fahuwa kafirun).

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros), yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut paham sumber tertulis “Ahl Al-Nahqli” dan penganut paham serba akal “Ahl Al-Aqli” (kaum rasionalisme) dalam Islam memang sangat lebar. Kedua hal ini pun, sekarang sedang ditantang oleh paham yang menerima “sumber intuisi” (ahl Al-Dzauq), seperti dikemukakan oleh Al-Zaribi dari Universitas Yar’muk di Yordania. Sumber ketiga ini, diusung oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam magnumopus (karya besar), ” Ihya’ulum al-din”, yang saat ini masih diajarkan di pondok-pondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci Al-Qur’an menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini” (Alyauma akmaltu dinakum) dan “Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh ” (Udkhulu fi al-silmi kaffah), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan ) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut.

Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham tersebut? Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa dirumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja menjadi motif yan g diambil Ulil Abshar Abdalla tersebut.

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika di benarkan, tentu saja kita akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekulerisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita masih mengharapkan Ulil masih mau melahirkan pendapat-pendapat terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat ” (Ikhtilaf Al-A ‘-Immha rahmah Al-ummah).

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil “berpikir” dalam media khlayak, maka kita dihadapkan kepada dua pilihan antara “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham “serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, bukan?

Jakarta, 28 Januari 2003

Penulis adalah Mustasyar PBNU

Sejarah Nahdlatul ‘Ulama

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut  dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Qanun Asasi Nahdlatul ‘Ulama

(terjemahan KH Mustofa Bisri)

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepada hamba-Nya agar menjadi pemberi peringatan kepada sekalian umat dan menganugerahinya hikmat serta ilmu tentang sesuatu yang Ia kehendaki. Dan barang siapa dianugerahi hikmah, maka benar-benar mendapat keberuntungan yang melimpah.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) :”Wahai Nabi, Aku utus engkau sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan penyeru kepada (Agama) Allah serta sebagai pelita yang menyinari” ”Serulah kejalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik dan bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalanNya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah” ”Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik darinya. Merekalah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang-orang yang mempunyai akal”

”Dan katakanlah : Segala puji bagi Allah yang tak beranakan seorang anakpun, tak mempunyai sekutu penolong karena ketidakmampuan. Dan agungkanlah seagung-agungnya” ”Dan sesungguhnya inilah jalanKu (AgamaKu) yang lurus. Maka ikutilah Dia dan jangan ikuti berbagai jalan (yang lain) nanti akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah memerintahkan agar kami semua bertaqwa”

”Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta Ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu dan berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, kalau mau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik kesudahannya”.”Maka orang-orang yang beriman kepadaNya (kepada Rasulullah) maka memuliakannya, membantunya dan mengikuti cahaya (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor) pada berdo’a : Ya Tuhan ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami beriman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian kami terhadap orang-orang yang beriman : Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”Wahai manusia, sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu daari seorang laki-laki dan perempuan dan jadikan kamu berbengsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah diantara kamu semua”.Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah Ulama.

”Diantara orang-orang yang mukmin ada orang-orang yang menempati apa yag mereka janjikan kepada Allah, lalu diantara mereka ada yang gugur dan diantara mereka ada yang menunggu mereka sama sekali tidak pernah merubah (janjinya)” ”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan beradalah kamu bersama orang-orang yang jujur” ”Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu” ”Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahuinya” ”Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”

”Adapun orang-orang yang dalam hati mereka terdapat kecenderungan menyeleweng, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mustasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui taqwilnya kecuali Allah. Sedang orang-orang yang mendalam ilmunya mereka mengatakan, ”kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat itu, semuanya dari sisi Tuhan kami” dan orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya).

”Barang siapa menentang Rasul setelah petunjuk yang jelas padanya dan dia mengikuti selain ajaran orang mukmin, maka Aku biarkan ia mengusai kesesatan yang telah dikuasainya (terus bergelimang dalam kesesatan) dan Aku masukkan mereka ke neraka Jahanam. Dan neraka jahanam itu adalah seburuk buruknya tempat kembali”. ”Takutlah kamu semua akan fitnah yang benar-benar tidak hanya khusus menimpa orang orang dzalim diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat dasyat siksaNya”

”Janganlah kamu bersandar kepada orang orang yang dzalim, maka kamu akan disentuh api neraka”.”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, diatasnya berdiri malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.”Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang mengatakan ”Kami mendengar”.Padahal mereka tidak mendengar”.”Sesungguhnya seburuk-seburuk makhluk melata, menurut Allah, ialah mereka yang pelak (tidak mau mendengar kebenaran) dan bisu (tidak mau bertanya dan menuturkan kebenaran) yang tidak berfikir”.”Dan hendaklah ada diantara kamu, ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

”Dan saling tolong menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa; janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat dahsyat siksanya”.”Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta berjaga-jagalah (menghadapi serangan musuh di perbatasan). Dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan”.

”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu berserai-berai, dan ingatlah ni’mat Allah yang dilimpahkan kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan lalu Allah merukunkan antara hati-hati kamu, kemudian kamupun (karena nikmatnya) menjadi orang-orang yang bersaudara”.”Dan janganlah kamu saling bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang kekuatanmu dan tabahlah kamu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang tabah”.

”Sesungguhnya orang-orang itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua Saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu dirahmati”.”Kalau mereka melakukan apa yang dinasehatkan kepada mereka, niscaya akan lebih baik bagi mereka dan memperkokoh (iman mereka). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku anugerahkan kepada mereka pahala yang agung dan Aku tunjukkan mereka jalan yang lempang”.”Dan orang-orang yang berjihad dalam (mencari) keridloanKu, pasti Aku tunjukkan mereka kejalanKu, sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik”.”Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman dan bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah dengan penuh penghormatan”.

”Dan (apa yang ada disisi Allah lebih baik dan lebih kekal juga bagi) orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, mendirikan shalat dan urusan mereka (mereka selesaikan) secara musyawarah antara mereka serta terhadap sebagian apa yang aku rizqikan, mereka menafakahkannya”.”….Dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridla kepada mereka”.Amma ba’duSesungguhnya pertemuan dan saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan hal yang tidak seorangpun tidak mengetahui manfaatnya.

Betapa tidak Rasulullah SAW benar-benar telah bersabda yang artinya :”Tangan Allah bersama jama’ah. Apabila diantara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka syaithanpun akan menerkamnya seperti serigala menerkam kambing”.”Allah Ridlo kamu sekalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun”Kamu sekalian berpegang teguh kepada tali (agama) Allah seluruhnya dan tidak bercerai-berai ;Kamu saling memperbaiki dengan orang yang di jadikan Allah sebagai pemimpin kamu.

Dan Allah membenci bagi kamu ; saling membantah, banyak tanya danmenyia-nyiakan harta benda””

Janganlah kamu saling dengki, saling menjerumuskan, saling bermusuhan, saling membenci dan janganlah sebagian kamu menjual atas kerugian jualan sebagian yang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah, bersaudara

” Suatu Umat bagaikan jasad lainnya Orang-orang ibarat anggota anggota tubuhnyaSetiap anggota punya tugas dan perannya

Seperti dimaklumi, manusia tidak dapat tidak bermasyarakat, bercampur dengan yang lain, sebab seorangpun tak mungkin sendirian segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak keburukan dan ancaman bahaya daripadanya.Karena itu, persatuan, ikatan bathin satu dengan yang lain saling bantu menangani satu perkara dan seia-sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.Beberapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintahan ditegakkan, jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.

Rasulullah SAW telah mempersaudarakan sahabat-sahabatnya sehingga mereka (saling kasih, saling menyayangi san saling menjaga hubungan) tidak ubahnya satu jasad; apabila satu anggota tubuh mengeluh sakit seluruh jasad ikut merasa demam dan tidak dapat tidur.Itulah sebabnya mereka menang atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit. Mereka tundukkan raja-raja, mereka taklukan negeri negeri, mereka buka kota-kota mereka bentangkan payung-payung kemakmuran, mereka bangun kerajaan-kerajaan dan mereka lancarkan jalan-jalan.

Firman Allah SWT ” Wa aatainaahu min kulli sya’in sababa””Dan Aku telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”.Benarlah kata penyair yang mengatakan dengan bagusnya”Berhimpunlah anak-anakku bilaKegentingan datang melanda,jangan bercerai-berai, sendiri-sendiri,cawan-cawa

n enggan pecah bila bersamaketika bercerai,satu-satu pecah berderai”

Sayidina Ali karamallahu wajhah berkata”Dengan perpecahan tak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah kepada seseorang baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang datang belakangan”Sebab, satu kaum apabila hati-hati mereka berselish dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka mereka tidak akan melihat sesuatu tempatpun bagi kemaslahatan bersama. Mereka bukanlah bangsa yang bersatu tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan mereka saling selisih. Engkau mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda.

Mereka telah menjadi seperti kata orang ”Kambing-kambing yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang buas belum sampai kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai pada mereka), atau karena saling berebut, telah menyebabkan binatang-binatang buas itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalu sebagian mengalahkan lain. Dan yang menangpun akan menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri. Si kambingpun jatuh antara si perampas dan si pencuri.

Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan disepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan.Betapa banyak keluarga-keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai satu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, biasanya menjalar meracuni hati mereka dan syaithanpun melakukan perannya, mereka kocar-kacir tak karuan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan.

Sahabat Ali Karamallahu Wajhah berkata dengan fasihnya:”Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan dan kebathilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan”.Pendek kata siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang terjadi pada mereka hingga pada saat saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah menggelimang mereka, kebanggaan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang pernah menjadi perhiasan mereka, tidak lain adalah karena berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia-sekata, searah setujuan, pikiran-pikiran mereka seiring. Maka inilah faktor paling kuat yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh bagi menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.

Musuh-musuh mereka tak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan menundukkan kepala, menghormati mereka karena wibawa mereka, dan merekapun mencapai tujuan-tujuan mereka dengan gemilang. Itulah bangsa yang mentarinya dijadikan Allah tak pernah terbenam senantiasa memancar gemilang, dan musuh-musuh mereka tak dapat mencapai sinarnya.

Wahai Ulama dan para pemimpin yang bertaqwa dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan keluarga mazhab imam empat anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalan sanad yang bersambung sampai pada anda sekalian.

Dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa anda menimba ilmu agama anda itu.Maka dengan demikian, anda sekalian penjaga-penjaga ilmu dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu siapa yang memasukinya tidak lewat pintunya, disebut pencuri.

Sementara itu segolongan orang yang terjun kedalam lautan fitnah ; memilih bid’ah dan bukan sunnah-sunnah Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku. Maka para ahli bid’ah itu seenaknya memutarbalikkan kebenaran, memungkarkan makruf dan memakrufkan kemungkaran.Mereka mengajak kepada kitab Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertoalak dari sana.Mereka tidak berhenti sampai disitu, malahan mereka mendirikan perkumpulan pada perilaku mereka tersebut. Maka kesesatanpun semakin jauh. Orang-orang yang malang pada memasuki perkumpulan itu. Mereka tidak mendengar sabda Rasulullah SAW.”Fandhuru ’amman ta’khuzuuna dienakum””Maka lihatlah, dan telitilah dari siapa kamu menerima ajaran agamamu itu”.”Sesungguhnya menjelang hari Kiamat, muncul banyak pendusta”.Janganlah kau menangisi agama ini bila ia berada dalam kekuasaan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada didalam kekuasaan bukan ahlinya”.

Tepat sekali sahabat Umar bin Khattab radliallahu ’anhu ketika berkata ”Agama Islam hancur oleh perbuatan orang munafikq dengan Al-Qur’an”Anda sekalian adalah orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebathilan, penafsiran orang-orang yang bodoh dan penyelewengan orang-orang yang over acting; dengan hujjah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan melalui lisan orang ia kehendaki.

Dan anda sekalian kelompok yang disebut dalam sabda Rasulullah SAW”. Anda sekelompok dari umatku yang tak pernah bergeser selalu berdiri tegak diatas kebenaran, tak dapat dicederai oleh orang yang melawan mereka, hingga datang putusan Allah.”Marilah anda semua dan segenap pengikut anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk jam’iyyah yang diberi nama “Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini”.

Masukalah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.Ini adalah jam’iyyah yang lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa dimulut orang-oarang yang baik dan bengkal (jawa kolot) ditenggorokan orang-orang yang tidak baik. Dalam hal ini hendaklah anda sekalian saling mengingatkan dengan kerjasama yang baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan memikat serta hujjah yang tak terbantah. Sampaikan secara terang-terangan apa yang diperintahkan Alah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah terberantas dari semua orang.

Rasulullah SAW bersabda:”Apabila fitnah-fitnah dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku dicacimaki, maka hendaklah orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang”.Allah SWT telah berfirman : “Wa taawanuu ‘alalbirri wattaqwa”“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwalah kepada Allah”.

Sayidina Ali karamallahu wajhah berkata :”tak seorangpun (betapapun lama ijtihadnya dalam amal) mencapai hakekat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak-hak Allah yang wajib atas hamba-hambaNya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu dalam menegakkan kebenaran diantara mereka”.

Tak seorangpun (betapapun tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya dalam agama), dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak Allah yang dibebankan kepadany. Dan tidak seorangpun (betapapun kerdil jiwanya dan pandangan-pandangan mata merendahkannya) melampaui kondisi dibutuhkan bantuannya dan dibantu untuk itu”.(Artinya tak seorangpun betapapun tinggi kedudukannya dan hebat dalam bidang agama dan kebenaran yang dapat lepas tidak membutuhkan bantuan dalam pelaksanaan kewajibannya terhadap Allah, dan tak seorangpun, betapapun rendahnya, tidak dibutuhkan bantuannya atau diberi bantuan dalam melaksanakan kewajibannya itu. Penterjemah).

Tolong menolong atau saling bantu pangkal keterlibatan umat-umat.Sebab kalau tidak ada tolong menolong, niscaya semangat dan kemauan akan lumpuh karena merasa tidak mampu mengejar cita-cita.Barang siapa mau tolong menolong dalam persoalan dunia dan akhiratnya, maka akan sempurnalah kebahagiaannya, nyaman dan sentosa hidupnya.

Sayyida Ahmad bin Abdillah AS-Saqqaf berkata:“Jam’iyyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan–bangunannya telah berdiri tegak, lalu kemana kamu akan pergi?. Kemana?”.“Wahai orang-orang yang berpaling, jadilah kamu orang-orang yang pertama, kalau tidak orang-orang yang menyusul masuk (jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan :“Mereka (orang-orang munafiq itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan (tidak termasuk ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka merekapun tidak bisa mengerti.“Tiada yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi”Ya Tuhan kami, Janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberi hidayah kepada kami, anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisiMu; sesungguhnya Engkau Maha Penganugerah. Ya Tuhan kami, Ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapusakanlah dari diri-diri kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkan kami beserta orang-orang yang berbakti.Ya Tuhan kami, karuniakanlah kami apa yang Engkau janjikan kepada kami melalui utusan-utusanMu dan jangan hinakan kami dari hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji. (*)